Ada sebuah lukisan yang menarik bagi saya ketika di sekolah menengah kami mempelajari Sejarah. Sejarah Dunia, khususnya Prancis. Lukisan itu berjudul “The Coronation of Napoleon” yang kini, lukisan berukuran tinggi 6m dan lebar 10m itu, tersimpan di Museum Louvre, Paris, Prancis. Lukisan itu menggambarkan penobatan/pemahkotaan Napoleon Bonaparte sebagai Kaisar Prancis beserta istrinya Josephine. Penobatan itu dilukiskan sangat megah. Namun dibalik “grandeur” atau segala kemegahan yang dilukiskan oleh Jacques-Louis David, sang pelukis, ada kisah menarik.
Dicatat oleh sejarah, bahwa ketika Paus akan memahkotai Josephine, Napoleon mengambil satu mahkota dari Paus dan memahkotai Josephine. Kemudian Napoleon mengambil mahkota Paus yang lain dan memahkotai dirinya sendiri. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1804. Apa makna dari peristiwa Napoleon memahkotai dirinya sendiri?
Setidaknya ada dua interpretasi terhadap peristiwa tersebut. Yang pertama berkaitan dengan kepribadian Napoleon sendiri yang cerdik, ahli strategi dan ambisius. Melalui peristiwa pemahkotaan dirinya seolah-olah Napoleon ingin menunjukan kepada dunia bahwa ia berhasil menjadi orang nomor satu di Prancis, bahkan Eropa. Semua berkat kemampuan dirinya, bukan karena berkat gereja/Paus. Interpretasi yang kedua adalah Napoleon ingin menunjukkan kepada dunia bahwa urusan negara dan gereja adalah dua hal yang berbeda atau terpisah.
Pemisahan antara gereja dan negara adalah salah satu anak kandung Reformasi Gereja abad ke-16 yang berkembang sejalan dengan pemikiran-pemikiran Renaissance yang membuat Eropa maju dan melakukan lompatan besar dalam peradaban umat manusia. Sejarah Prancis memang kemudian mencatat bahwa Napoleon dengan keyakinannya bahwa gereja tidak ikut campur urusan negara dan sebaliknya berdampak pada berkembangnya kebebasan beragama di Prancis. Bahkan pada 1905 Prancis menerbitkan Undang-Undang yang melarang penggunaan simbol-simbol agama di lingkungan pemerintahan termasuk sekolah-sekolah negeri.
Jika prinsip pemisahan antara gereja dan negara (Let the state be the state and let the church be the church) adalah salah satu anak kandung Reformasi Gereja, apakah prinsip ini menghalangi umat Kristen Indonesia untuk terlibat dan berperan serta dalam pembangunan bangsa dan negara? Memikirkan dualisme ini saya teringat kepada seorang tokoh nasional yakni Johannes Leimena atau oleh kawan-kawan dekatnya dipanggil Jo atau Oom Jo oleh angkatan yang lebih muda.
Oom Jo pada awalnya adalah aktivis Jong Ambon yang ikut memprakarsai Sumpah Pemuda 1928. Pada masa Kemerdekaan Oom Jo adalah orang kepercayaan Bung Karno presiden pertama RI. Beliau tidak putus menjadi menteri dalam kabinet sejak 1946 hingga 1966 dengan jabatan terakhir sebagai Waperdam-2 (Wakil Perdana Menteri. Saat itu ada 3 Waperdam, sedangkan Perdana Menteri dirangkap oleh Bung Karno). Saat-saat Bung Karno melakukan perlawatan ke luar negeri untuk waktu yang cukup lama, tidak hanya sekali Oom Jo diangkat menjadi Pelaksana Tugas Presiden. Oom Jo dikenal sebagai orang yang jujur disamping sebagai seorang negarawan yang sangat memperhatikan kepentingan bsngsa. Bahkan secara bercanda atau dalam suasana informal Bung Karno menyebut/memanggil Oom Jo sebagai “Dominee” atau Pendeta. Ya, Oom Jo adalah “surat terbuka” seperti dikatakan oleh Paulus dalam 2 Korintus 3:2-3. Orang dapat melihat pengamalan nilai-nilai Kristiani dalam hidup Oom Jo yang tampil sebagai figur publik, sebagai negarawan, pejabat negara dan politisi.
Sebagai seorang nasionalis, lama sebelum Indonesia merdeka, Oom Jo pernah menulis artikel di majalah Eltheto (1935) yang didalam artikel tsb terdapat pernyataan Oom Jo, sbb: “Tugas seorang Kristen Indonesia adalah memperlihatkan bahwa menjadi Kristen tidak ada sangkut-pautnya dengan kolonialisme. Menjadi Kristen berarti hidup dalam dua dunia, sebagai anggota yang hidup dari bangsa sendiri dan juga sebagai anggota persekutuan orang-orang kudus di dalam Kristus.”
Oom Jo juga adalah orang yang ikut merintis berdirinya Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan bahkan pernah menjadi ketua pada 1950-1959. Menurut catatan Pdt. Ngelow, salah satu sejarawan gereja-gereja di Indonesia, dikatakan, “Dalam eksistensinya Parkindo selalu menyuarakan dukungan terhadap pemerintah dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Partai ini menganut semacam teokrasi, yakni menyelenggarakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sesuai dengan prinsip agama Kristen.” Di sisi lain dalam pertemuan-pertemuan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI, kini PGI: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) sering Ooom Jo menekankan pentingnya kesadaran bahwa, “Ada kesamaan kepentingan antara pihak negara dan gereja”
Setiap bangsa atau negara memiliki sejarah atau pengalaman berbangsa dan bernegara yang berbeda-beda. Jika Prancis dengan pengalamanya menghasilkan kebijakan yang tegas mengenai hubungan agama dan negara, maka negara/bangsa kita dengan Pancasila sebagai dasar negara justeru menghendaki keterlibatan agama, organisasi keagamaan serta umat untuk bersama-sama membangun bangsa. Oleh karena itu mari kita menjadi orang yang 100% Kristen namun juga 100% Indonesia sambil mengingat Firman Tuhan, “Pertama-tama, saya minta dengan sangat supaya permohonan, sembahyang, dan doa syafaat serta ucapan terima kasih disampaikan kepada Allah untuk semua orang; untuk raja-raja dan untuk semua orang yang memegang kekuasaan. Mintalah supaya kita dapat hidup tenang dan tentram untuk Allah dengan kelakuan yang patut.” [1Timotius 2:1-2, BIMK]. Setidak-tidaknya itulah yang bisa kita lakukan sebagai sumbangsih kita sebagai umat kepada bangsa dan negara, namun selain itu terbuka banyak ruang-ruang partisipasi kita sebagai umat untuk ikut serta membangun bangsa dan negara. Selamat merayakan Hari Lahir Panca Sila. Merdeka! 100% Kristen, 100% Indonesia.
Pdt. Sri Yuliana.