Stefanus melakukan sebuah cara yang tergolong unik dalam merespons kondisi persekusi yang ia alami. Secara khusus, Stefanus memberikan kesaksian dengan mengutip sejarah perjanjian yang mengakar dalam kebudayaan dan iman bangsa Israel. Stefanus sedang berupaya membangun landasan teologis sekaligus iman atas Diri Yesus Kristus dengan cara merujuk perjanjian yang terjadi antara TUHAN dengan nenek moyak bangsa Israel. Cara ini tergolong tepat dan efektif untuk dilakukan, mengingat Stefanus sedang dimintai pertanggung jawaban oleh para pemuka agama Yahudi yang sudah pasti memahami konsep perjanjian tersebut. Dengan kata lain, melalui upaya kilas balik historis tersebut Stefanus sedang mengajak para pemuka agama untuk menyadari terlebih dahulu mengenai urgensitas penyelamatan, yang nantinya akan ia jelaskan, telah dilakukan oleh Yesus Kristus. Tidak hanya berhenti sampai di situ, melalui kilas balik historis ini pula Stefanus sedang menunjukkan bahwa perjanjian dan penyelamatan yang terjadi itu semata-mata terjadi oleh karena inisiatif kasih TUHAN yang tak terbatas dan tak ternilai. Artinya, itu semua merupakan anugerah yang tak terbatas.
Sahabat Alkitab, teks firman Tuhan yang kita baca pada hari ini memang belumlah usai. Kita masih membaca bagian awal dari upaya Stefanus untuk memberikan kesaksian sekaligus pembelaan imannya di hadapan para pemuka agama yang sedang memberikan tekanan atas pengakuan percayanya kepada Yesus Kristus. Namun, dari bagian pembukaan ini pun kita sudah dapat mengambil sebuah nilai pembelajaran tentang tahap yang sangat krusial dalam sebuah hidup beriman, yakni mengenai kesadaran atas kebutuhan peran TUHAN dalam hidup.
Terkadang, kekerasan hati sebagai seorang manusia membuatnya melupakan atau mengesampingkan peran Tuhan dalam kehidupan. Biasanya, hal ini terjadi ketika seseorang berada dalam kondisi hidup yang terasa aman dan nyaman. Di tengah kenikmatan itulah ia merasa kurang atau bahkan, tidak memerlukan peran TUHAN. Alhasil, berdoa menjadi jarang, membaca Alkitab pun enggan hingga ibadah yang ia anggap sebagai aktivitas sampingan. Namun, beda halnya ketika ia merasa memerlukan pertolongan TUHAN. Oleh sebab itu, membangun kesadaran bahwa kita selalu membutuhkan peran TUHAN sepanjang hidup di dunia ini dan yang akan datang merupakan sebuah keniscayaan dalam praktek hidup beriman. Entah situasi diri yang sedang bergumul maupun tidak, entah di tengah kondisi yang penuh riak tantangan kehidupan maupun ketenangan, kita selalu membutuhkan TUHAN. Inilah kesadaran yang perlu terus kita miliki agar iman kepada TUHAN tidak tergerus oleh ego diri sendiri.