Begitulah raja Daud mengawali doanya yang indah ini. Doa yang mendalam ini lahir dari hatinya yang penuh syukur atas berkat TUHAN bagi dirinya dan bagi keluarganya. TUHAN sudah memberkati dan melindungi Daud dan keluarganya. TUHAN juga tetap menjanjikan berkat dan perlindungan bagi Daud dan keturunannya sampai selamanya. Bagi Daud, TUHAN sudah terlalu banyak memberi dan mengasihi. Maka, ia merasa tidak layak menerima Kasih TUHAN yang sedemikian besar dan berlimpah. Daud kehabisan kata-kata untuk mensyukuri kasih TUHAN yang sedemikian besar. Dia hanya dapat berserah pada TUHAN yang paling mengenal dirinya. Daud mengakui bahwa kasih itu sepenuhnya mengalir dari “hati TUHAN”, bukan karena prestasi atau jasanya. Kebaikan itu sepenuhnya mengalir berkat firman dan janji TUHAN, bukan karena pencapaian manusia.
Doa Daud ini patut juga menjadi model doa-doa kita. Begitu sering doa-doa kita hanyalah ungkapan egoisme dan pameran prestasi pribadi. Kita terlalu banyak meminta, dan lupa bersyukur dan berserah. Kita berdoa seakan-akan TUHAN memang harus mengasihi kita karena kita layak. Doa-doa kita bahkan terkesan memaksa TUHAN agar bertindak sesuai keinginan dan kebutuhan kita. Daud, si raja Israel terhebat, di puncak kejayaannya, justru mengajar kita tentang apa itu berdoa. Berdoa bukanlah terutama rentetan kata, syukur, keluhan dan permohonan. Berdoa adalah sikap dasar kita sebagai manusia beriman di hadapan TUHAN, yaitu: serah-diri total di hadapan-Nya, semata-mata mengandalkan kasih dan perlindungan-Nya. Dengan itu, Doa menjadi kesempatan mengenal diri dan kerapuhan kita di hadapan Kasih TUHAN yang tidak terbatas. Kasih dan perlindungan TUHAN sudah terlalu banyak kita alami. Kita saja yang seringkali tidak tahu diri dan lalai berterima-kasih. Maka, bersama Daud kita sebaiknya lebih sering berdoa dan bertanya: “Siapakah aku ini, ya Tuhan ALLAH, dan siapakah keluargaku, sehingga Engkau membawa aku sampai sedemikian ini?” .
Salam Alkitab Untuk Semua