Di dalam tradisi Kekristenan, kita mengenal adanya rangkaian hari raya liturgis yang mengacu pada penetapan penanggalan dan landasan narasi Alkitab spesifik. Semua perayaan itu diperingati dalam bentuk-bentuk ritus khusus sebagai sarana bagi umat TUHAN untuk menjalani momen-momen khusus maupun rutin terhadap nilai-nilai relasi dengan TUHAN dan kaitannya dengan hubungan terhadap sesama serta ciptaan yang lain. Artinya, kita sudah tidak asing lagi dengan ritus-ritus dalam kehidupan beriman. Salah satu contohnya adalah peribadahan minggu yang rutin dilakukan. Persoalannya adalah apakah semua ritus tersebut diselenggarakan dan dijalankan dengan penuh pemaknaan atau sebatas formalitas?
Pada perikop bacaan hari ini TUHAN memberikan panduan bagi bangsa Israel kuno untuk menjalani hari-hari raya sesuai dengan pemakaiannya masing-masing. Tentu saja, setiap hari raya memiliki momen peringatan terhadap kisah atau nilai tertentu dalam kaitannya dengan relasi antara mereka sebagai umat dengan TUHAN. Mereka pun diajarkan untuk menjalani semua hari-hari tersebut dalam ketekunan dan kesiapan yang tidak sembarangan.
Secara lebih mendalam, kita dapat membaca catatan dalam pasal ini sebagai langkah pembentukan sikap iman umat Israel dalam membangun tradisi iman dengan penuh pemaknaan secara konsisten. Kehadiran hari-hari raya liturgis pun tidak ditujukan sebagai seremoni minim makna nan formalitas. Justru, melalui pelaksanaan hari-hari raya liturgis kita pun diberikan kesempatan untuk memaknai dan membangun relasi iman secara sistematis dan disiplin.
Renungan firman TUHAN pada hari ini pun perlu kita jadikan bahan evaluasi terkait rutinitas menjalani ritus sebagai umat TUHAN. Kita perlu mempertanyakan kepada diri sendiri, yakni: Apakah setiap perayaan ibadah yang saya lakukan sudah cukup dimaknai atau hanya terkesan sebatas rutinitas minim makna? Apakah semua hari raya liturgis yang saya kenal sebagai umat Kristen sudah cukup saya jalani dengan khusyuk atau justru sebagai bentuk formalitas belaka?