Perasaan curiga dan amarah kerap kali membuat seseorang tidak dapat mengambil sikap dengan bijak. Hal inilah yang dialami oleh Yoab, panglima perang raja Daud. Ketika tiba dari lokasi penyerbuan ia mendapatkan laporan dari hamba-hamba Daud terkait apa saja yang sudah dilakukan oleh Abner untuk Daud dan Kerajaan Israel. Tentu saja hal ini mengganggu hatinya, ia masih berduka atas kematian adiknya, Asael, yang dibunuh oleh Abner di medan perang. Situasi tersebut mempengaruhi penilaiannya pada Abner sehingga ia tidak dapat mempercayai bahwa Abner benar-benar tulus telah berpihak kepada Daud.
Dalam perasaan yang berkecamuk itulah Yoab membunuh Abner saat mereka sedang berada di Hebron. Dalam tradisi Israel kuno membunuh dalam peperangan (seperti yang dilakukan Abner terhadap Asael) tidak melanggar hukum. Akan tetapi pembunuhan yang dilakukan oleh Yoab diluar situasi perang disamping itu Daud telah menjamin keselamatan bagi Abner. Pada sisi lainnya perlu kita ingat bahwa kota Hebron, tempat Yoab membunuh Abner, merupakan kota yang dikhususkan menjadi kota perlindungan atau suaka yang bebas dari pembalasan dendam. Sehingga tindakan Yoab sangat melanggar hukum. Maka saat Daud mendengar kabar itu, ia marah dan mengutuk perbuatan Yoab, bahkan kejahatan Yoab akan ditanggung pula oleh keluarga dan keturunannya.
Sahabat Alkitab, tindakan impulsif yang dilakukan oleh Yoab pada akhirnya memberikan dampak yang buruk tidak hanya bagi keluarganya, namun juga bagi keluarga dan keturunannya. Ia tidak hanya melanggar hukum yang selama ini menjadi arahan bagi umat, namun juga menjadi masalah terhadap relasi yang mulai dibangun Daud terhadap tua-tua Israel dan suku benyamin melalui Abner. Oleh karena itu, marilah kita menyadari bahwa kemarahan memang situasi yang manusiawi namun kita telah diberkati akal budi untuk dapat mengolah setiap situasi yang tidak menyenangkan dalam hati. Relasi yang baik dengan Tuhan juga menjadi kunci, agar setiap sikap atau tindakan yang hendak kita ambil tetap berada dalam pengawasan dan persetujuanNya.