Beberapa tahun ke belakang orang-orang Kristen mulai mengembangkan sapaan khasnya yakni “syalom” yang secara sederhana dapat berarti “damai sejahtera”. Namun sapaan tersebut menjadi sesuatu yang ironis saat orang-orang Kristen justru tidak memiliki gaya hidup dan pola pikir yang menjunjung damai. Syalom seharusnya mengingatkan kita akan panggilan untuk hidup dalam damai sejahtera terutama dalam dunia yang penuh dengan konflik, ketidakpastian, dan kesulitan. Bukan hanya tentang tidak adanya peperangan atau pertikaian, tetapi tentang menghidupi dan meneruskan cara hidup yang membawa damai dan sejahtera bagi orang-orang di sekitar kita, dan yang terpenting, dalam hubungan kita dengan Tuhan.
Bacaan hari ini diawali dengan janji damai yang diprakarsai oleh Allah kepada umat-Nya. Kata damai yang digunakan pada ayat 25 menggunakan kata syalom, yang berarti keadaan “damai sejahtera”, mencakup ketiadaan konflik/peperangan, kesehatan yang optimal, dan kondisi sejahtera secara jasmaniah dengan berkat melimpah. Allah menyadari betul kebutuhan umatnya, sebagai tawanan tentu perasaan kuatir telah menjadi bagian dari kehidupan sesehari selama di tempat pembuangan. Ancaman keamanan, merelakan jika sewaktu-waktu kepemilikannya dirampas. Ini semua terjadi karena mereka tidak punya pilihan atas hidupnya sendiri. Di tengah kondisi demikian Firman Tuhan menjadi pengharapan bagi mereka. Janji tentang adanya masa pembebasan sudah cukup memberikan kelegaan, tetapi Allah yang mengasihi umatNya memberi lebih dari itu. Kelak umat tidak hanya terbebas dari tangan penguasa Babel, tetapi juga akan diangkat kembali harga dirinya sebagai bangsa merdeka yang kembali menempati tanah terjanji dan tidak akan mengalami pembuangan lagi.
Sahabat Alkitab, pada masa kini memiliki kehidupan yang ‘damai sejahtera’ sesuai dengan gambaran Alkitab merupakan sebuah kemewahan yang tidak mudah untuk dimiliki. Namun sebagaimana yang telah disampaikan oleh Yehezkiel bahwa ‘damai sejahtera’ tersebut hanya mungkin terjadi jika Allah sendiri yang mengambil peran di dalamnya. Lalu jika hingga saat ini damai sejahtera belum terwujud, apakah itu berarti kita belum memberi tempat bagi Allah untuk mengambil peran dalam kehidupan kita? Baik secara pribadi maupun kehidupan di tengah keluarga dan masyarakat? Bisa jadi itulah yang terjadi. Ego dan hawa nafsu manusia yang lebih banyak mengambil peran dalam kehidupan kita sehari-hari. Maka marilah kita bersama-sama mengarahkan hati dan pikiran kita kepada-Nya saja. Memohon agar damai sejahtera hadir dalam kehidupan kita pribadi, lingkungan masyarakat dan dunia yang kita diami.