Akhir-akhir ini kita banyak melihat ketidakadilan merajalela. Mereka yang kaya dan berkuasa merasa memiliki segala sesuatu dan tidak menghiraukan saudaranya yang berkekurangan. Belum lagi oknum penguasa yang memberlakukan hukum serta keadilan yang tajam kebawah dan tumpul ke atas. Lalu dimanakah kita harus mengharapkan keadilan yang sejati? Jawabannya ada pada mazmur yang hendak kita refleksikan saat ini.
Setelah membahas penderitaan pada pasal 42, kini harapan akan pertolongan TUHAN digaungkan oleh pemazmur. Harapan akan kehadiran Allah dilukiskan melalui gambaran ibadah di bait suci. Seluruh keberadaan dirinya tertuju pada Allah yang hadir di tengah umat-Nya untuk menggenapi janji-Nya. Allah digambarkan sebagai hakim. Penggambaran tersebut muncul dari kerinduan umat dan keadilan Allah yang ditegakkan bagi seluruh penjuru bumi. Tidak jauh berbeda dengan saat ini, pada masa itupun keadilan menjadi barang yang langka. Penindasan terjadi begitu mudah, mereka yang miskin dan terpinggirkan menjadi objek kesewenang-wenangan para penguasa. Pemazmur sadar bahwa pada akhirnya keadilan sejati tidak bersumber dari manusia, melainkan dari Allah saja. Oleh karena itu umat diajak untuk memasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Ia akan menegakkan keadilan-Nya bagi orang-orang benar yang tertindas.
Sahabat Alkitab, melalui refleksi pemazmur di atas kita memahami bahwa Allah yang menjadi satu-satunya sumber keadilan di dunia. Orang-orang dapat mempraktikkan ketidakadilan dengan begitu bebasnya, tetapi pada akhir sejarah dunia Sang pencipta akan menegakkan keadilan-Nya. Tugas kita sebagai orang benar adalah tetap memperjuangkan keadilan apapun yang terjadi serta membangun pengharapan dalam perjuangan menegakkan keadilan di kehidupan kita sehari-hari. Pada akhirnya yang tersisa hanyalah syukur yang meluap-luap atas keberpihakan Allah kepada orang benar. Sebagaimana dalam teks juga terlihat orang-orang benar yang telah dibela-Nya mengucap syukur atas kebaikan dan keadilan Allah dengan mempersembahkan kurban syukur kepada-Nya.