Pada saat seseorang berada dalam situasi hidup yang terpuruk, akan sangat mudah baginya untuk menampilkan sikap kerendahan hati di hadapan orang lain. Motifnya pun bisa bermacam-macam, mulai dari upaya untuk mendapatkan simpati orang lain maupun memang sebagai wujud ketulusan dari hasil pembelajaran diri di tengah proses kehidupannya. Namun, sikapnya bisa jauh berbanding terbalik pada saat ia mampu keluar dari situasi tersebut dan berada di tengah situasi hidup yang penuh kekuasaan serta kenikmatan. Kesombongan dan kepongan pun seringkali menjadi bagian dari tingkah hidupnya terhadap sesama. Ia pun terlupa bahwa ‘di atas langit masih ada langit’.
Tanduk adalah simbol yang biasa digunakan untuk menunjukkan kekuatan. Inilah mengapa nabi Zakharia mendapatkan penglihatan empat tanduk yang dijelaskan sebagai empat pihak atau empat kekuasaan yang menggentarkan Israel. Kegentaran itu pun mewujud dalam masa pembuangan bangsa Israel. Kekuatan keempat kekuasaan itu telah menyerakkan umat Tuhan ke berbagai tempat keluar dari tanah perjanjian. Meski demikian, kekuatan keempat kekuasaan itu tidaklah bersifat mutlak.
Keempat tanduk itu memang menyimbolkan kekuatan empat kekuasaan yang menundukkan Israel, namun bagaimanapun tanduk juga selalu ada pada kepala hewan. Dengan kata lain, keempat kekuasaan itu pun memiliki batasan kekuatan, selayaknya hewan yang juga memiliki potensi untuk merasakan ketakutan. Ketakutan itulah yang mereka alami ketika muncul empat tukang besi yang merupakan simbol dari empat kekuasaan lain yang akan menundukan keempat tanduk tersebut. Semuanya adalah bagian dari cara Tuhan untuk mendidik dan menyelamatkan umat-Nya.
Sahabat Alkitab, pesan nubuatan Zakharia ini, pada satu sisi telah menghadirkan kita sebuah nilai pemulihan dan pembelaan dari Tuhan bagi setiap umat-Nya yang sedang bergumul-berjuang dalam hidupnya menghadapi tekanan yang begitu berat. Namun, pada sisi lain firman ini juga perlu kita maknai sebagai pengingat tentang bahaya kesombongan. Tidak jarang, pada saat kita mengalami keberhasilan, sebagai manusia yang penuh keterbatasan, kita justru bermuara pada sikap hidup yang penuh kesombongan. Entah sadar maupun tidak, kita membangun cara hidup yang angkuh terhadap sesama. Bahkan, tidak sedikit umat Tuhan yang juga berlaku pongah di hadapan Tuhan karena merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan. Hingga akhirnya ia luput untuk memahami bahwa ‘di atas langit masih ada langit’ dan sumber kekuatan yang sesungguhnya adalah Tuhan itu sendiri. Oleh sebab itu, sebagai umat Tuhan membangun kesadaran dan pengendalian diri dalam kerendahan hati merupakan praktik hidup yang perlu diwujudkan.