Ritual kurban menjadi dasar dari relasi antara Allah dengan Manusia sebagaimana ditetapkan oleh hukum Taurat. Dalam kitab Imamat misalnya dituliskan berbagai jenis ritual kurban dan fungsinya terkait dengan kehidupan spiritual umat pada saat itu. Meskipun demikian pada akhirnya ritual kurban tersebut mempunyai keterbatasan dalam menuntaskan persoalan dosa yang telah mengakar dalam kehidupan manusia.
Dalam seluruh narasi di Alkitab, kurban merupakan konsep penting yang mencerminkan hubungan antara manusia berdosa dan Allah yang kudus. Namun, kurban dalam Perjanjian Lama, yang diulang setiap tahun, tidak pernah mampu menghapus dosa secara sempurna. Teks Ibrani 10 menunjukkan kepada kita tentang keterbatasan Hukum Taurat. Semua ritual dan persembahan yang diatur hanyalah bayangan dari sesuatu yang lebih besar, yaitu penggenapan dalam Yesus Kristus.
Yesus Sang Imam Agung datang dan mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban yang sempurna. Berbeda dengan imam-imam sebelumnya yang harus terus-menerus mempersembahkan kurban, Yesus hanya melakukan sekali dengan mempersembahkan diri-Nya. Setelah itu, Ia duduk di sebelah kanan Allah (Ibrani 10:12), menunjukkan bahwa karya penebusan-Nya telah selesai. Tidak ada lagi kurban tambahan yang diperlukan. Tindakan Yesus tidak hanya mencerminkan kasih Allah yang tak terhingga, tetapi juga kekudusan-Nya yang menuntut penebusan sejati atas dosa. Kurban Kristus menjadi jalan baru yang membawa umat masuk ke dalam hubungan yang benar dengan Allah. Penebusan ini bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga menguduskan manusia, seperti dijelaskan dalam nubuat Yeremia yang dikutip dalam Ibrani 10:16. Dalam perjanjian baru, Allah meletakkan hukum-Nya dalam hati dan akal budi umat-Nya, membentuk mereka dari dalam sebagai umat yang hidup dalam kehendak-Nya.
Sahabat Alkitab, hari ini kita diundang untuk kembali merenungkan kedalaman kasih dan anugerah Allah. Penebusan Kristus adalah tindakan kasih terbesar dan termahal, di mana Anak Allah sendiri menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Peristiwa luar biasa ini memanggil kita agar tidak lagi hidup dalam ketakutan atau sekadar menjalankan ritual, tetapi hidup dalam pengenalan bahwa kita telah ditebus dengan harga yang sangat mahal. Dalam terang penebusan ini, kehidupan kita seharusnya menjadi ungkapan syukur yang terus-menerus. Mempersembahkan diri sebagai kurban yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah (Roma 12:1). Dengan demikian, setiap aspek kehidupan kita menjadi wujud penyembahan yang memuliakan Allah.