Gunung Sinai dan Gunung Sion: Pilihan Antara Hukum dan Kasih Karunia
Dalam perjalanan iman, Alkitab sering mengontraskan pengalaman Israel di Gunung Sinai dengan realitas rohani di Gunung Sion. Kedua gunung ini memiliki makna mendalam dalam hubungan manusia dengan Allah, terutama dalam memahami perjanjian lama dan baru. Gunung Sinai adalah tempat di mana Allah memberikan hukum Taurat kepada Israel. Pengalaman di gunung ini penuh dengan kemegahan dan teror, seperti yang dijelaskan dalam Keluaran 19:10-25. Allah hadir dengan guntur, kilat, awan tebal, gempa bumi, dan bunyi sangkakala yang panjang. Gunung itu dipagari untuk menjaga orang-orang agar tidak mendekat, bahkan hewan yang menyentuh gunung harus dirajam. Tentu kondisi demikian membuat umat takut Bahkan Musa, pemimpin yang berani, mengakui bahwa ia "sangat takut dan gemetar" (Ibrani 12:21; Ulangan 9:19). Namun, ketakutan ini tidak menghasilkan kekudusan atau perubahan hati yang sejati. Hanya 40 hari setelah pengalaman ini, bangsa Israel menyembah anak lembu emas, melupakan segala kebaikan Allah. Pengalaman di Gunung Sinai pada akhirnya menjadi simbol hukum yang keras dan ketidakmampuan manusia untuk memenuhi standar Allah melalui usaha sendiri. Hukum tersebut hanya dapat menunjukkan dosa, tetapi tidak bisa mengubah hati atau membawa keselamatan sejati.
Sebaliknya, pengalaman rohani di Gunung Sion berbicara tentang kasih karunia Allah yang dinyatakan melalui Yesus Kristus. Dalam ayat 22-24, Gunung Sion digambarkan sebagai kota Allah yang hidup, Yerusalem surgawi, tempat malaikat yang tak terhitung banyaknya berkumpul bersama jemaat anak-anak sulung yang namanya terdaftar di surga. Di sini, Yesus adalah Pengantara perjanjian baru, dan darah-Nya berbicara lebih baik daripada darah Habel. Gunung Sion bukan tentang ketakutan, melainkan tentang undangan. Jika Gunung Sinai adalah tempat keterpisahan dan ketidaklayakan, Gunung Sion adalah tempat kasih karunia dan kedekatan. Melalui Yesus, semua orang diundang untuk mendekat kepada Allah. Perjanjian baru ini tidak didasarkan pada usaha manusia untuk memenuhi hukum, melainkan pada iman dan penerimaan akan karya penebusan Yesus. Selanjutnya penulis Ibrani kembali mengingatkan memberikan peringatan keras agar umat tidak menolak Dia yang berbicara dari Gunung Sion. Jika Israel yang menolak suara Allah di Gunung Sinai tidak luput dari hukuman, maka menolak kasih karunia Allah di Gunung Sion memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar.
Sahabat Alkitab, Gunung Sinai dan Gunung Sion mengajarkan kita bahwa kehidupan iman bukan tentang usaha manusia untuk mencapai Allah, tetapi tentang kasih karunia Allah yang turun kepada kita melalui Yesus Kristus. Pilihan di antara kedua gunung ini adalah simbol mengenai pilihan antara hukum dan kasih karunia, keterpisahan dan kedekatan, ketakutan dan pengharapan. Manakah yang mau kita junjung tinggi dalam kehidupan kita. Semoga kasih karunia Kristus menyadarkan kepada kita untuk senantiasa menegakkan kasih karunia Allah dalam hidup ini dan memelihara relasi yang utuh serta intim dengan Allah.