Paulus menutup bagian akhir dari nasehatnya kepada jemaat di Kolose dengan seruan untuk bertekun dalam doa dan mengucap syukur. Kedua hal ini idealnya menjadi praktik hidup beriman dari seluruh umat TUHAN untuk menghantarkan mereka pada sebuah kesiapan diri dalam menjalani hidup keseharian. Doa dan pengucapan syukur tidak semestinya menjadi praktik spiritualitas yang membentuk umat menjadi narsistik, melainkan mempersiapkan mereka untuk menjadi pelaku firman secara nyata. Pengajaran yang Paulus berikan ini pun menjadi penekanan sekaligus seruan bahwa praktik doa tidak semestinya berhenti pada kepuasan diri sendiri yang juga tidak semestinya berakhir pada ruang-ruang tertutup. Maksudnya tentu saja jemaat tidak diminta untuk berdoa di luar ruangan, di pinggir-pinggir jalan, melainkan untuk menindaklanjuti dampak doa tersebut dalam raung kehidupan yang jauh lebih luas. Itulah mengapa Paulus menuliskan, “Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.”
Sahabat Alkitab, permenungan firman TUHAN pada hari ini membawa kita kepada sebuah proses perenungan terkait praktik doa yang kita lakukan di sepanjang kehidupan ini sebagai umat TUHAN. Apakah setiap doa yang kita lakukan masih berkutat pada kepuasan dan keinginan diri sendiri? Apakah doa yang kita lakukan terhenti di dalam ruang-ruang privat atau kita sudah mampu menghadirkan dampak doa di dalam ruang-ruang publik tanpa bersikap narsis apalagi berlaku superior di tengah kemajemukan? Kiranya setiap umat TUHAN mampu menjalani doa dan mengucap syukur sebagai persiapannya menjadi saksi, bukan menjadi individu yang semakin narsis dan egois.