Pada era ketika penggunaan radio masih menjadi primadona hiburan sebagian besar orang, entah di kota-kota besar maupun desa-desa, terdapat sebuah fenomena menarik nan unik. Banyak orang melakukan ‘titip salam’ dengan cara menelepon penyiar atau operator radio yang bersangkutan untuk kemudian menitipkan pesan atau salam kepada seseorang lain yang juga diasumsikan mendengarkan siaran radio tersebut. Ada pesan yang bernuansa sukacita, ungkapan kerinduan, permintaan maaf, luapan kemarahan, kejengkelan, atau pun keinginan untuk bersua dalam waktu dekat. Ada salam yang terkesan bercanda, namun tidak sedikit juga yang berisikan ketulusan dengan rasa yang begitu kuat dalam setiap kata yang diberikan.
Praktik salam yang kerap muncul dalam surat-surat Paulus juga memiliki nilai yang besar, khususnya dalam ikatan relasi sebagai komunitas umat TUHAN. Meski media salam yang digunakan hanyalah melalui tulisan, namun esensi terdalam dari salam itu tidak dibatasi oleh tulisan maupun surat yang diterima oleh jemaat. Justru, pemberian salam dari para pekerja injil Kristus terhadap para jemaat yang dituju menjadi luapan ikatan relasi dan iman untuk saling menguatkan, mendukung dan mengasihi meski mereka sedang terpisah jarak dan waktu. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ikatan relasi di antara umat TUHAN tidak akan pernah berakhir dan terbatas selain dari keengganan si pribadi yang bersangkutan untuk menahan kasih dan perhatiannya terhadap sesama.
Kiranya permenungan ini dapat menggugah hati dan kesadaran kita sebagai umat TUHAN untuk saling terhubung, tidak hanya sebatas fisik yang berujung pada formalitas belaka, melainkan pada kebertautan iman dan rasa sebagai komunitas yang utuh.