Apa alasan saudara berbahagia? Kita mungkin dapat menyebutkan beberapa alasan yang dapat memberikan kebahagiaan. Namun jika boleh jujur sebagian besar dari hal-hal tersebut mungkin terkait dengan hal-hal material atau duniawi yang kita dapatkan. Atau paling tidak kebahagiaan kita bergantung kepada sesuatu yang berhasil kita dapatkan. Tidak ada salahnya berbahagia terhadap hal-hal tersebut, tetapi dalam Kristus ada sebuah kebahagiaan yang lebih mendasar.
Perikop yang kita baca saat ini sangatlah berkesan pada umat manusia di sepanjang zaman. Ucapan-ucapan Yesus dalam khotbah di bukit yang ditandai dengan kata berbahagialah yang dibingkai dengan pengulangan kalimat “merekalah yang punya kerajaan Surga” (ayat 3 dan 10). Hal menarik lainnya adalah tentang pendengar khotbah Yesus. Mereka berasal dari berbagai tempat dan golongan. Dalam injil Matius, khotbah di bukit juga menjadi tempat dimana Yesus memanggil khalayak ramai sebagai murid, tidak hanya pada keempat pengikut pertama (4:18-22), atau pada kelompok 12 rasul yang belum terbentuk.
Menarik untuk melihat sapaan berbahagialah sepertinya bertentangan dengan kata sifat yang terjadi sebelumnya. Misalnya saja pada ayat 3, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang punya Kerajaan Surga.” Bukankah sulit bagi seseorang yang miskin untuk merasakan kebahagiaan? Atau yang berdukacita untuk merasa penghiburan. Maka kita perlu melihat teks ini melebihi apa yang tertulis. Kata ‘berbahagialah’ yang diulang sembilan kali, tidak berarti semoga berbahagia (a wish), tetapi menyatakan bahwa orang-orang itu memang bahagia. Orang yang dalam Alkitab dinyatakan bahagia adalah mereka yang hidup dengan baik atau bertindak bijaksana, atau orang yang telah menerima anugerah khusus. Kalimat ‘mereka yang miskin’ jangan ditafsirkan sebagai glorifikasi kemiskinan, arti miskin disini adalah mereka yang tidak dikuasai oleh keserakahan, merasa cukup atas segala berkat yang Tuhan hadirkan, serta memiliki kerendahan hati bahwa pada akhirnya segala sesuatu adalah milik Tuhan. Bukankah kesadaran tersebut penting untuk kita miliki di zaman modern ini?
Manusia di zaman ini dikuasai oleh materialisme dan hedonisme, seolah-olah kebahagiaan kita tergantung pada, berapa rumah yang sudah dimiliki, telepon genggam yang paling canggih, aset yang tidak terhitung lagi, atau kendaraan terbaru yang dimiliki. Yesus mengundang orang untuk merasa cukup dan tidak dikuasai oleh harta benda. Merekalah yang sesungguhnya berbahagia, karena hidupnya tidak dikendalikan oleh hasrat dan keinginan yang tidak pernah terpuaskan. Berbahagia juga dikenakan kepada mereka yang ‘lemah lembut. Yesus berkata bahwa mereka akan akan ‘memiliki bumi’. Bayangkanlah bahwa kata-kata ini diucapkan saat pendengar hidup dalam sebuah kenyataan dimana imperium-imperium besar berkuasa dengan menindas dan menggunakan kekerasan. Dalam tata kehidupan yang dikuasai oleh Kerajaan Allah, kekerasan serta penindasan terhadap sesama manusia tidaklah dibenarkan. Sikap welas asih dan penuh empati kepada sesama menjadi nilai yang harus dihidupi oleh orang-orang percaya, itulah arti dari kelemah-lembutan.
Sahabat Alkitab, marilah kita berkontemplasi mendengarkan ucapan Yesus ini. Saat hidup tengah dirundung berbagai tantangan hidup dan pergumulan, dari atas bukit yang menjulang, Yesus berseru kepada kita semua ‘berbahagialah’. Sungguh terasa menyejukkan, kebahagiaan kita perlahan lahir dan bersemai karena kebahagiaan sejati berdasarkan kasih Tuhan kepada kita. Di saat yang sama, ucapan ‘berbahagialah’ dari Yesus merupakan undangan untuk menghidupi nilai-nilai kerajaan Allah dalam kehidupan sehari-hari.