Keluhan seringkali terlontar begitu saja, terutama saat kita mengalami situasi atau kondisi yang di luar ekspektasi serta bayangan kita. Sewajarnya memang kita diundang untuk selalu bersyukur kepada Allah atas segala hal yang telah dikerjakan-Nya, tetapi kadangkala keluhan itu terucap begitu saja apalagi menghadapi beban berat yang menyesakkan jiwa. Apakah berarti keluhan itu tanda atas ketidakpercayaan serta pembangkangan kita kepada-Nya? Menariknya dalam Alkitab cara pandangnya tidak sehitam putih itu. Memang ada kalanya mereka yang mengeluh ditegur oleh Tuhan, tetapi seringkali kita juga melihat bahwa ada ruang bagi orang beriman untuk menyampaikan keluhannya kepada Allah di dalam doa. Misalnya saja seperti nampak dalam kitab Mazmur dan juga seruan serta doa Ayub pada bacaan kita kali ini.
Kitab Ayub pasal 7 berisi mengenai doa Ayub kepada Allah. Dalam doa itulah disampaikan keluh kesah Ayub kepada Tuhan sebagai satu-satunya tempat ia berharap. Pada paruh pertama pasal 7 yakni ayat 1-10, tema yang disoroti adalah kefanaan hidup manusia serta perjuangan yang melingkupi kehidupan. Manusia digambarkan sebagai makhluk yang harus menjalani gumul juang di bumi. Mereka terus mengabdi dan bekerja tanpa lelah meskipun tidak ada kepastian akan masa depan. Hanya kepahitan yang mengiringi kehidupan manusia. Inilah yang dirasakan oleh Ayub. Hari dan bulan berlalu tanpa ada kejelasan akan nasibnya. Semuanya seperti kesia-siaan (ay.3).
Bahkan dalam tidur pun, Ayub tidak lagi merasakan ketenangan. Kecemasan melanda Ayub sebagai respon tubuh atas penderitaan yang dialaminya. Kegelisahan menjadi kawan yang menemani hingga pagi menjelang. Pada titik inilah Ayub kembali terhampar pada pemikiran bahwa ketenangan mungkin hanya ditemuinya kelak di dunia orang mati, karena hidupnya sangatlah singkat dan sementara. Dalam segala seruan itu Ayub menyapa Allah sekali lagi dan meminta-Nya untuk bertindak. Hidupnya hanyalah sementara, maka sekejap saja jika terlambat Ayub akan tiada seperti hembusan nafas yang cepat sekali sirna.
Melalui pembacaan kita dengan seksama atas teks hari ini maka sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa segala keluhan Ayub adalah bentuk dari perenungannya akan kebergantungan mutlak kepada Allah. Penderitaan yang dialaminya adalah representasi dari kefanaan hidup yang begitu singkat bagaikan hembusan nafas. Maka yang dapat menolongnya hanyalah Allah yang melampaui kefanaan ciptaan dan sumber dari segala kehidupan. Keluhan adalah bentuk kejujuran hati sebagai respon atas penghayatan keberadaan manusia di tengah segala dinamika kehidupan yang terjadi. Asalkan memang respon tersebut diletakkan dalam relasi dengan Allah semata. Bukankah kita mengadu dan mengeluh kepada sosok yang membuat kita nyaman. Mungkin jawaban tidak segera kita peroleh, tetapi dengan mengetahui bahwa jerit hati kita dialamatkan pada sosok yang tepat maka sedikit mengobati kegelisahan jiwa yang begitu menekan berat. Sosok itu adalah Tuhan Allah Sang Pemilik Kehidupan.