Iman adalah keberanian untuk mempercayai Allah dengan seluruh keberadaan kita. Dalam kekristenan iman selalu diandaikan sebagai sesuatu yang hidup dan penuh dengan dinamika. Sehingga dapat dimaknai bahwa basis dari iman ada relasi dengan Allah yang dihidupi di tengah-tengah hidup keseharian kita. Maka selalu ada ruang untuk berdialog dengan-Nya, termasuk di kala hidup sedang tidak baik-baik saja. Itulah hikmat yang datangnya dari Allah sendiri.
Pada perikop ini, terlihat upaya Elifas untuk menegur Ayub dan melanjutkan penghakimannya. Elifas berbicara dengan keyakinan penuh dan merasa bahwa hikmat yang ia miliki adalah kebenaran mutlak. Ia tidak memahami bahwa Ayub tidak menolak hikmat, tetapi ia merindukan perjumpaan dengan Sang Pemilik hikmat itu sendiri. Elifas bertumpu pada doktrin bahwa manusia harus tunduk pada apapun keputusan Allah, termasuk pada kenyataan bahwa penderitaan adalah hukuman dari Allah atas dosa-dosa yang diperbuat manusia. Ia tidak juga memahami bahwa Ayub bukan menentang Allah, tetapi justru mencari-Nya dengan sepenuh hati.
Elifas bahkan menyalahkan Ayub atas kesombongannya karena menolak nasihat yang baik. Perkataan yang keluar dari mulut Ayub dinilai kurang ajar, bertentangan dengan hormat yang harus diberikan pada Allah. Ayub seharusnya tunduk pada pemahaman yang selama ini ada serta dipegang dengan teguh oleh Elifas yakni: Allah adalah kudus dan sempurna sementara manusia fana dan berdosa. Maka saat derita terjadi pasti letak kesalahannya ada pada manusia.
Ayub bukan manusia tanpa dosa, tetapi penderitaannya bukan karena dosa tertentu yang ia sembunyikan. Ia mencari jawaban di tengah kabut penderitaan, tetapi yang ia temukan hanyalah tuduhan. Bukankah dinamika yang tengah dialami Ayub adalah pergulatan batin manusia sepanjang zaman. Manusia dengan sekuat tenaga mencari Allah dalam deritanya, tetapi yang ditemui adalah keheningan-Nya. Namun, dalam keheningan itu, Allah tetap bekerja. Orang beriman tahu bahwa dalam hening, Allah tetap hadir disana. Sayangnya sebagian orang beragama menganggap pemahaman tersebut sebagai pemberontakan kepada Allah. Sebagaimana diwakili oleh pandangan Elifas yang membuatnya semakin tidak manusiawi. Seharusnya ia dapat memahami bahwa hikmat sejati tidak membungkam suara hati yang merintih kepada Allah. Hikmat sejati bukanlah aturan-aturan keagamaan, melainkan juga belas kasih terhadap sesama.
Sahabat Alkitab, mari merenungkan kembali bagaimana kita menghadapi penderitaan, baik milik sendiri maupun orang lain. Ketika seseorang sedang dalam kesesakan, apakah kita hadir sebagai sahabat yang memahami atau sebagai hakim yang menghakimi? Apakah kita lebih sibuk membela pemahaman kita sendiri daripada mencoba mengerti isi hati sesama? Elifas berbicara tentang hikmat, tetapi hikmat yang tidak memiliki kasih adalah kehampaan. Hikmat sejati memahami bahwa dalam penderitaan, bukan sekadar jawaban yang dibutuhkan, tetapi kehadiran, empati, dan kesabaran untuk mencari Allah bersama-sama. Semoga kita tidak menjadi “Elifas” di dalam hidup orang lain, tetapi menjadi sahabat yang sungguh-sungguh mendengarkan dan hadir di tengah badai kehidupan mereka.