Tuhan merupakan sebuah keberadaan metafisik yang melampaui ruang dan waktu. Keberadaan dan pemahaman manusia sama sekali tidak bisa menjangkau cara kerja Allah. Kita dapat memahami sedikit dari karya-Nya karena Tuhan menampakkannya dan menyatakannya bagi kita. Namun demikian dalam ingatan atas karya Allah yang terentang di sepanjang sejarah, sesungguhnya kita dapat meyakini bahwa Ia hadir dalam segala sesuatu. Apa yang ada dalam alam semesta dapat dipakai-Nya untuk menunjukkan kehadiran-Nya. Dengan demikian seharusnya sebagai umat beriman kita tidak perlu cemas karena Ia selalu menyertai kita. Bahkan saat derita hebat menghampiri kehidupan kita.
Pada ayat 20–21, Elihu memperingatkan Ayub untuk tidak memilih “malam”—sebuah metafora bagi kekuatan gelap yang mungkin menggoda hati manusia untuk menyerah kepada kebencian dan keputusasaan. Elihu mengingatkan bahwa penderitaan bukanlah hukuman, melainkan teguran penuh kasih agar manusia berpaling dari jalan yang jahat dan kembali kepada Allah. Lalu, Elihu mengalihkan fokus kepada Allah sebagai Pencipta yang Maha Besar dan Maha Bijaksana (ayat 22–23). Allah tidak memerlukan nasihat manusia. Jalan-jalan-Nya melampaui logika kita. Inilah misteri iman: percaya kepada maksud Allah meskipun tidak selalu mengerti rancangan-Nya.
Dalam ayat-ayat berikut (ayat 24–33), Elihu melukiskan kebesaran Allah lewat alam ciptaan. Ia mengajak Ayub (dan kita) untuk melihat badai bukan hanya sebagai ancaman, tetapi sebagai pesan. Guntur, kilat, hujan, dan angin bukan sekadar fenomena meteorologis, melainkan simbol bahwa Allah sedang berbicara. Seperti bunyi guntur yang menggelegar dari langit, demikian pula suara Tuhan menggoncangkan batin manusia. Ada keindahan sekaligus kedahsyatan dalam cara Allah menyatakan diri melalui ciptaan. Dia adalah Sang Pembuat Hujan, Guntur, dan Kilat. Suara-Nya menggelegar, bukan untuk menakuti, tetapi untuk menyadarkan. Dalam budaya Timur Dekat Kuno, guntur adalah suara ilahi. Maka ketika Elihu menyuruh Ayub mendengarkan “suara-Nya yang mengguntur” (Ayub 37:2), itu berarti membuka hati untuk mendengarkan pesan Allah dari dalam badai hidup.
Di balik awan tebal, hujan deras, dan kilat yang menyambar, Allah tidak diam. Dia ‘hadir’, dan justru melalui badai-badai itu, Ia berbicara lebih kuat. Maka, penderitaan pun menjadi ‘alam’ yang mendidik, bukan sekadar derita, tetapi sarana untuk merenung dan bertumbuh.
Sahabat Alkitab, penderitaan sering kali menggoda manusia untuk menjadi sinis, apatis, atau bahkan memberontak terhadap Tuhan. Tetapi melalui renungan hari ini, kita diundang untuk bergeser dari pertanyaan “Mengapa ini terjadi padaku?” menjadi “Apa yang Tuhan sedang nyatakan melalui ini?”. Percayalah bahwa Tuhan tidak pernah tinggal diam. Ia menyatakan kehendak-Nya melalui segala sesuatu seturut dengan hikmat-Nya. Maka percayalah akan karya-Nya sekalipun dalam derita yang kita sedang alami.