Perikop ini adalah awal dari rangkaian sistem pembagian tanah di tengah bangsa Israel sejak keberhasilan mereka dalam menguasai wilayah tanah yang diberikan TUHAN. Secara bertahap bangsa Israel mulai mendapatkan wilayah-wilayah tersebut, meskipun dalam perikop ini mereka belum menguasai sepenuhnya wilayah yang dimaksud. Namun, pada tahap awal ini kita dapat melihat bagaimana distribusi tersebut dilakukan oleh Musa bagi beberapa suku Israel. Artinya, pada momen pembagian tanah ini tidak semua suku Israel mendapatkan bagiannya.
Terdapat beberapa hal yang dapat kita perkirakan sebagai latar-belakang pembagian tanah yang tetap dilakukan meski tidak semua suku Israel menerimanya. Pertama, jika mereka menunggu seluruh wilayah berhasil didapatkan, maka wilayah paling awal yang telat dikuasai harus ditinggalkan untuk tempo yang belum pasti. Artinya, sangat besar kemungkinan tanah yang telah berhasil ‘dikosongkan’ itu akan kembali diakuisisi oleh pihak lain. Kedua, pembagian tersebut dilakukan demi menghindari konflik yang tidak diperlukan. Apabila kita mengacu kepada Bilangan 32:1-33, maka dapat ditemukan catatan mengenai negosiasi dari bani Ruben dan Gad kepada Musa untuk mendiami wilayah tersebut. Di dalam negoisiasi itulah kita menemukan kesepakatan tentang komitmen dari orang-orang bani Ruben dan Gad untuk tetap mendukung perjalanan bangsa Israel hingga berhasil mendapatkan keseluruhan wilayah yang telah dijanjikan TUHAN.
Catatan pembagian dalam perikop ini tidak sekadar rekam administratif terkait proses distribusi tanah dalam sejarah bangsa Israel kuno, melainkan juga memberikan kita sebuah nilai kerja yang tersusun, terencana dan terlaksana dengan baik. Kita dapat memaknai hal ini melalui cara bangsa Israel kuno mengelola sistem sosial terkait hak kepemilikan tanah yang diselenggarkan dengan begitu sistematis. Tentu saja, perilaku tersebut menjadi bagian dari kehidupan iman yang dibentuk melalui perintah TUHAN agar mereka menjadi bangsa yang terencana. Sistem pembagian tanah tidak hanya menjadi persoalan sosial yang terlepas dari kehidupan iman, melainkan menjadi indikator dari kualitas iman mereka itu sendiri. Sebagai umat TUHAN kita pun perlu menyadari bahwa pada dasarnya setiap hidup kita idealnya direncanakan, dibentuk, dan dilaksanakan dalam terang firman TUHAN. Artinya, setiap perilaku yang kita munculkan dalam kehidupan bersosial merupakan cerminan dari kualitas iman kepada TUHAN, bahkan dalam berbagai hal yang dianggap tidak memiliki hubungan langsung dengan praktik keagamaan Kristen.