Ketika hiruk-pikuk siang tak memberi ruang untuk ketenangan, malam menjadi satu-satunya waktu untuk berhenti sejenak. Di saat lampu-lampu kota mulai redup dan kesibukan perlahan mereda, kita justru diingatkan pada ruang batin yang tak bisa diabaikan, yaitu kerinduan terdalam akan Allah. Malam menjadi simbol ambang, di mana manusia berhadapan dengan sunyi sekaligus dengan dirinya sendiri. Dalam ruang inilah pemazmur berkata, “Aku merenungkan Dikau sepanjang jaga malam” (ayat 7). Pernyataan sederhana ini sesungguhnya mengandung pengalaman iman yang mendalam, Allah menjadi pusat renungan, ketika dunia tampak gelap dan tak pasti.
Mazmur 63 ditulis ketika Daud berada di padang gurun Yehuda, ia terancam dan dikejar oleh musuh. Padang gurun bukan hanya situasi geografis, tetapi juga gambaran eksistensial tentang kekosongan, keterasingan, dan ketidakpastian hidup. Ungkapan “jaga malam” merefleksikan kondisi orang yang tidak bisa tidur karena harus berjaga dari ancaman bahaya, atau karena hati dan pikirannya resah. Bagi Daud, momen ini merupakan kesempatannya untuk merenungkan kasih setia dan kuasa Allah. Selain itu, merenung di “jaga malam” juga memiliki makna simbolis. Malam sering diasosiasikan dengan kelemahan manusia: tubuh lelah, pikiran rentan dihantui kecemasan, dan jiwa terbuka pada ketakutan terdalam. Namun justru di titik paling hening inilah, iman menjelma menjadi perjalanan yang menukik ke dasar jiwa. Memunculkan kejujuran batin yang paling murni, menyingkap perasaan yang biasa ditutupi, seperti: kegelisahan, kerinduan, bahkan rasa kehilangan.
Sahabat Alkitab, malam sering kali jadi waktu di mana kita terjebak dalam overthinking, pikiran berputar tanpa henti hingga berujung pada kegelisahan dan sulit tidur. Namun, Mazmur 63 menunjukkan bahwa Daud tidak membiarkan malamnya dipenuhi ketakutan. Ia justru menjadikan malam sebagai ruang hening untuk bersandar pada Allah. Kita pun diajak melakukan hal yang sama, tidak tenggelam dalam pikiran yang melelahkan, melainkan menemukan ketenangan dalam kasih setia Tuhan. Malam juga dapat menjadi momen untuk membangkitkan kembali kerinduan akan Allah, menolak lupa akan setiap penyertaan-Nya, dan melatih hati untuk bersyukur. Dalam keheningan malam, kita diundang untuk melekat erat pada-Nya, menjadikan relasi dengan Tuhan sebagai sumber kekuatan dan keteduhan sejati. Dengan demikian, malam tak lagi identik dengan overthinking, melainkan menjadi altar kecil tempat jiwa melepas penat dalam naungan sayap-Nya.