Jakarta, 15 Mei 2024 - Focus Group Discussion (FGD) di hari kedua dihadirkan dengan topik fokus layanan jemaat/umat, pengelolaan lembaga yang baik, penerbitan produk non-cetak dan layanan digital, serta penyebaran Alkitab dan bagian-bagiannya, telah mengumpulkan berbagai masukan penting. FGD ini dihadiri oleh lembaga dan penyalur utama yang merupakan mitra Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dalam penyebaran Alkitab di Indonesia.
FGD juga membahas pentingnya kolaborasi antara LAI dan penerbit lainnya, seperti BPK Gunung Mulia, untuk penyebaran buku-buku rohani. “Kami berharap ada bentuk Alkitab yang menarik untuk generasi muda, terutama yang modelnya seperti Alkitab Study Bible,” harap Gloria yang hadir mewakili Toko Buku Gloria Batam. Kebutuhan ini semakin mendesak dengan adanya perubahan dari Terjemahan Baru (TB) 1 ke TB 2 yang membuat stok Alkitab sering tidak tersedia.
Digitalisasi juga menjadi sorotan utama dalam diskusi ini. “LAI harus cepat melakukan digitalisasi dibanding orang lain yang nanti menggarapnya. LAI punya hak cipta yang harus dipertahankan,” ujar Thomas Edison yang hadir mewakili Penerbit Kalam Hidup. Media digital LAI telah menunjukkan perkembangan yang baik dengan banyaknya followers dan partisipasi dalam diskusi-diskusi serta pengajaran-pengajaran online.
Namun, tantangan tetap ada dalam hal penyediaan Alkitab digital yang valid. “Banyak Alkitab digital yang beredar namun tidak ada validasi. Yang punya wewenang pasti LAI,” tegas Anton yang hadir mewakili Lembaga Biblika Indonesia (LBI). Ia juga menekankan pentingnya kontrak penggunaan naskah TB 1 dan TB 2 yang saat ini digunakan dalam aplikasi-aplikasi yang beredar saat ini.
Sementara itu, kekhawatiran juga muncul terkait dampak digitalisasi terhadap penjualan Alkitab cetak. “LAI sebagai penerbit tentu tidak menginginkan dominasi digital, karena lebih baik orang membeli yang cetak untuk membantu biaya penerbitan berikutnya. Namun, Alkitab digital memudahkan akses bagi mereka yang membutuhkan Alkitab di ponsel mereka,” kata Thomas. Konflik ini membutuhkan keputusan bijak dari LAI untuk menyeimbangkan antara penyebaran firman Tuhan yang luas dan keberlanjutan finansial penerbitan Alkitab.
Kolaborasi dengan lembaga lain dalam proyek penerjemahan juga disarankan untuk memenuhi kebutuhan jemaat dari berbagai suku. “Ada misionaris di Papua yang menerjemahkan Alkitab untuk suku Moi di luar LAI dan mampu menerbitkan 1000 Alkitab. Kolaborasi seperti ini perlu ditingkatkan,” ujar seorang Boas Pangabean dari Yayasan SALT yang saat ini sedang mengerjakan proyek penerjemahan di pedalaman Dabato, Papua bersama Mission Aviation Fellowship (MAF).
FGD ini menegaskan bahwa tantangan dalam penyebaran Alkitab di Indonesia masih banyak, namun dengan komunikasi yang baik, kolaborasi yang erat, dan adopsi teknologi digital yang tepat, LAI bersama mitra-mitranya dapat terus memenuhi kebutuhan rohani jemaat di seluruh nusantara.