”Kesejateraannya adalah Kesejahteraanmu”
Menyambut Kebangkitan Nasional 2024
Adalah seorang priyayi desa bernama Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo. Wahidin berasal dari Mlati, empat kilometer di utara Yogyakarta. Ia adalah anak bumiputera pertama yang diterima di sekolah dasar untuk anak Eropa (Europesche Lagere School, ELS). Setamat dari ELS ia meneruskan studi ke Sekolah Dokter Bumiputera (Dokter Jawa). Karena termasuk anak yang pandai, begitu lulus pada 1872 Wahidin diangkat menjadi asisten pengajar di sekolah itu. Beberapa tahun kemudian ia kembali ke Yogyakarta dan menjadi pejabat kesehatan daerah itu sampai 1899.
Wahidin dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan halus budi. Ia mampu memadukan pendidikan Barat yang diterimanya dengan unsur-unsur terbaik kebudayaan Jawa. Selain dikenal luas sebagai dokter, Wahidin juga handal bermain karawitan (seni gamelan Jawa), juga menjadi dalang wayang kulit.
Ia memiliki cita-cita mulia, membangkitkan kembali kejayaan “bangsa Jawa”, yang pada waktu itu tertindas oleh Belanda. Menurut Wahidin, kemajuan Jawa hanya dapat dicapai melalui ilmu pengetahuan barat lewat pendidikan, tetapi tanpa melupakan warisan budaya Jawa yang dimilikinya. Wahidin yakin pendidikan modern yang diperkuat dengan pendalaman budaya nenek moyang akan membantu masyarakat mengatasi masalah hidup sehari-hari. Cita-cita Wahidin tersebut ia tuangkan melalui surat kabar yang dipimpinnya sejak 1901, Retno Doemilah. Melalui surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa yang terbit seminggu tiga kali tersebut Wahidin memaparkan kemunduran masyarakat bumi putera dan pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi. Ia mengajak para bangsawan dan pegawai-pegawai pemerintahan untuk bersatu dan mendukung program peningkatan pendidikan tersebut. Tampaknya seruan dan goresan penanya kurang mendapat sambutan.
Ia lalu memutuskan untuk langsung turun menemui para pemuka masyarakat Jawa, seperti para bupati yang kaya dan kaum priyayi kelas atas yang berpengaruh. Kepada mereka Wahidin mengemukakan cita-citanya dan meminta mereka terlibat, khususnya menyumbang dana beasiswa. Ia melepaskan kedudukannya sebagai pemimpin surat kabar, demi memenuhi misi mulia tersebut. Upaya Wahidin berkeliling Jawa untuk mengumpulkan dana beasiswa ternyata kurang berhasil. Sebagian besar bupati dan para priyayi tidak berminat untuk mendukung. Mereka malah menganggap Wahidin hendak mengguncangkan ketenteraman dan ketertiban sistem yang berlaku. Tampaknya para bupati dan para priyayi tidak ingin bersinggungan dengan pemerintah penjajah dan lebih suka berada dalam ”posisi aman”. Ada pula yang meremehkan kedudukan Wahidin yang hanya merupakan dokter Jawa.
Setelah sekian lama tanpa hasil, suatu hari Wahidin diundang oleh dua mahasiswa STOVIA (Sekolah Dokter) Jakarta, Soetomo dan Soeradji, untuk membagikan gagasan dan cita-citanya di depan para siswa STOVIA. Mereka tergugah oleh semangat dokter tersebut. Soetomo menulis kenangan pertemuannya dengan Wahidin, demikian:
“Saya berhadapan dengan dokter Wahidin Soedirohoesodo yang berwajah tenang tapi tajam, dan kepandaiannya mengutarakan pkirannya sangat berkesan bagi saya. Suaranya yang jelas dan tenang membuka pikiran dan hati saya, membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit. Berbicara dengan dokter Wahidin merupakan pengalaman yang mengharukan, dengan mudah orang akan tahu tentang luhurnya semangat pengabdian dokter ini.” (R. Soetomo,”Kenang-kenangan 1933”sebagaimana dikutip oleh Manuel Kaisiepo, 2000).
Gagasan dan cita-cita yang sejak lama diperjuangkan Wahidin, menemukan titik perwujudannya ketika para mahasiswa STOVIA sepakat untuk membentuk suatu organisasi sesuai keinginan Wahidin. Para siswa sekolah dokter tersebut malah menghendaki agar organisasi tersebut tidak hanya mengurus soal pendidikan, melainkan juga menyadarkan penduduk bumiputera bahwa mereka tidak kalah dengan bangsa Eropa, Cina maupun Arab.
Maka, 20 Mei 1908, pukul 9 pagi, beberapa mahasiswa berkumpul di ruang matakuliah anatomi. Soetomo memimpin jalannya rapat pagi itu. Di hadapannya ada sejumlah pemuda calon dokter: Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeradji, Soewarno, dan beberapa yang lain. Soetomo menjelaskan kembali cita-cita Wahidin dan pentingnya organisasi untuk memajukan pendidikan dan kebudayaan di Hindia Belanda. Pagi itu Budi Oetomo berdiri. Sekelompok mahasiwa itu mungkin tidak pernah mengira bahwa rapat kecil mereka pada hari itu akan mengawali pergerakan kemerdekaan Indonesia. Boedi Oetomo adalah organisasi modern pertama di Nusantara. Puluhan tahun kemudian, Mohammad Hatta, menyebut peristiwa berdirinya Boedi Oetomo sebagai “kecambah semangat kebangsaan nasional”. Sebulan kemudian, Juni 1908, pendirian Boedi Oetomo diumumkan di koran Bataviaasch Nieuwsblad. Ditandatangani oleh sekretaris organisasi itu, Soewarno, maklumat itu antara lain berbunyi,”Boedi Oetomo berdiri untuk memperbaiki keadaan rakyat kita, terutama rakyat kecil.” Satu pernyataan penting dalam surat edaran itu, di sana tegas tercantum tujuan Boedi Oetomo,”kemajuan bagi Hindia”. Jika Wahidin memulai dari keprihatinan akan nasib ”bangsa Jawa”, anak-anak muda Boedi Oetomo memperluas cakupannya untuk seluruh Hindia Belanda (waktu itu nama Indonesia belum dikenal).
Menjadi seorang dokter, bagi Wahidin Soedirohoesodo maupun bagi Soetomo dan kawan-kawan, pada masa itu adalah posisi nyaman dengan masa depan yang cerah. Tidak hanya ingin menjadi kaya,mereka juga peduli nasib dan kesejahteraan bumiputera. Mereka sadar, harapan dan cita-cita mereka akan berhadapan dengan tekanan pemerintah kolonial. Maupun perlawanan dari bangsanya sendiri, yang tidak ingin kehilangan kemapanan dan kenyamanan.
Sekitar 400 tahun sebelum Kristus, Nabi Yeremia pernah berpesan kepada umat Israel di pembuangan,”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yeremia 29:7). Dalam situasi kehidupan sebagai orang buangan, Yeremia menasihati umat untuk tidak berpikir kembali ke Yerusalem dalam waktu dekat. Ia menubuatkan pembuangan akan berlangsung 70 tahun. Allah tetap akan memberkati umat dengan damai dan sejahtera meskipun mereka hidup di perantauan. Yang harus mereka lakukan adalah mendoakan dan mengupayakan kesejahteraan kota di mana mereka Tuhan tempatkan. Pdt. Yongki Karman dalam bukunya ”Kata dan Karya” menulis, umat dipanggil untuk berpartisipasi aktif membangun kota sebab kesejahteraan mereka akan tergantung kesejahteraan kota. Umat Israel yang terpencar di Babilonia meski minoritas, tidak boleh sekadar numpang, tetapi juga harus mengupayakan kesejahteraan kota tempat mereka tinggal.
Yongki lebih lanjut menyatakan, umat Kristiani memiliki dua kedudukan, sebagai warga Kerajaan Allah dan warga kerajaan dunia. Kedua status kewargaan itu tidak untuk dipertentangkan, juga tidak berarti warga negara di dunia kurang penting dibandingkan warga Kerajaan Allah. Kita Kristen sekaligus kita adalah orang Indonesia. Dalam iman yang holistik, mencintai Tuhan harus nyata dalam mencintai kota dan tanah air kita, mendoakan dan mengupayakan kesejahteraannya, ikut memberikan jalan keluar bagi berbagai persoalan yang ada.
Menurut Yongki, salah satu cacat keumatan adalah tidak peduli bangsa sendiri akan jadi apa dan hanya peduli urusan umat, seolah-olah umat bagian yang bisa dipisahkan dari bangsa. Sebagai umat kristiani di Indonesia, mestinya kita memiliki perasaan yang kuat atas Indonesia seabgai Tanah Air, tumpah darah bersama. Tidak hanya itu, keindonesiaan harus melekat dalam jati diri keumatan. Kita bukan Kristen yang kebetulan lahir di Indonesia, dengan keindonesiaan sebagai predikat tambahan, hanya kewarganegaraannya Indonesia, sementara mimpi dan kiprahnya di negeri yang lain. Kita adalah orang Indonesia yang kebetulan Kristen, dengan keindonesiaan sebagai identitas tak terpisah dari jati diri keumatan. Aib bangsa adalah aib kita, kehormatan bangsa adalah kehormatan kita. Seperti pesan Yeremia, kita memiliki tanggung jawab untuk melakukan apa yang baik bagi bangsa dan negara. Mengabdi untuk kepentingan bangsa adalah kewajiban konstitusional kita.
Meneladani Wahidin dan Soetomo, yang peduli dan empati dengan nasib bangsanya, kita pun dipanggil demikian. Bersama dengan berbagai elemen bangsa yang majemuk dan berasal dari beragam latar belakang, kita diajak untuk berjuang bersama mengatasi berbagai persoalan bangsa, seperti: kemiskinan, ketidakadilan, perpecahan, radikalisme, persoalan-persoalan etika, hingga kemajuan teknologi akibat revolusi digital yang mempengaruhi banyak segi kehidupan. Kisah Budi Oetomo sudah 116 tahun berlalu, namun perjuangan belum selesai. Impian Wahidin dan Soetomo masih bersama kita, mewujudkan masyarakat Hindia (Indonesia) yang sejahtera dan berdiri sejajar di antara bangsa-bangsa besar lainnya. Tugas kita melanjutkan visi mereka. Karena kesejahteraan Indonesia adalah kesejahteraan kita. Selamat merayakan kebangkitan nasional!