Lulus dalam ilmu teologi namun tidak pernah ditahbiskan, bertunangan dengan seorang gadis namun memutuskan pertunangannya dan tidak pernah menikah, Søren Aabye Kierkegaard adalah sosok yang hidup sepenuhnya untuk berpikir dan menulis. Bagaimana mungkin seorang pria dengan kehidupan pribadi yang tampak begitu rumit dan penuh pertanyaan menjadi salah satu teolog Kristen terpenting yang pernah ada? Søren menantang pandangan konvensional tentang Kekristenan, menawarkan interpretasi yang mendalam dan revolusioner dari perspektif eksistensialis. Melalui karya-karyanya, ia mengajak kita untuk merenungkan arti sebenarnya dari iman dan eksistensi, menghadirkan refleksi yang relevan hingga hari ini.
Søren Aabye Kierkegaard lahir pada tanggal 5 Mei 1813 di Kopenhagen. Dia adalah anak ketujuh dan terakhir dari seorang tuan rumah yang kaya raya, Michael Pedersen Kierkegaard dan Ane Sørensdatter Lund, seorang mantan pembantu rumah tangga dan sepupu jauh Michael Kierkegaard. Ini adalah pernikahan kedua Michael Kierkegaard, yang terjadi dalam waktu satu tahun setelah kematian istri pertamanya dan empat bulan setelah kehamilan pertama Ane Lund.
Michael Kierkegaard adalah seorang pria yang sangat melankolis dan religius, serta memikul beban rasa bersalah yang berat, yang ia limpahkan kepada anak-anaknya. Søren Kierkegaard sering mengeluh bahwa ia tidak pernah memiliki masa kecil yang penuh spontanitas dan tanpa beban, tetapi merasa telah "terlahir tua." Sebagai seorang anak gembala yang kelaparan di padang rumput Jutland, Michael pernah mengutuk Tuhan. Nama belakangnya berasal dari kenyataan bahwa keluarganya terikat kontrak dengan pastor paroki, yang menyediakan sebidang tanah pertanian gereja (Kirke) untuk mereka gunakan. Nama Kirkegaard (dalam ejaan lama Kierkegaard) sering berarti 'halaman gereja' atau 'pemakaman'. Perasaan malapetaka dan kematian tampaknya menyelimuti Michael Kierkegaard selama sebagian besar dari 82 tahun hidupnya.
Meskipun mengalami peningkatan kekayaan material secara dramatis, Michael Kierkegaard tetap yakin bahwa dia telah membawa kutukan bagi keluarganya. Dia percaya bahwa semua anaknya ditakdirkan untuk meninggal pada usia yang sama dengan Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Dari ketujuh anaknya, hanya dua orang yang berhasil bertahan hidup melewati usia tersebut, yaitu Peter Christian dan Søren Aabye.
Pada usia 12 tahun, Michael Kierkegaard dipanggil ke Kopenhagen untuk bekerja pada pamannya sebagai pedagang kain. Michael ternyata adalah seorang pebisnis yang cerdik dan pada usia 24 tahun telah memiliki bisnisnya sendiri yang berkembang pesat. Dia kemudian mewarisi kekayaan pamannya, dan menambah kekayaannya dengan beberapa investasi yang menguntungkan selama kebangkrutan negara pada tahun 1813.
Michael pensiun di usia muda dan mendedikasikan dirinya untuk mempelajari teologi, filsafat, dan sastra. Dia mewariskan kepada putra-putranya, Peter dan Søren, bukan hanya kekayaan materi, tetapi juga kecerdasan yang tajam, rasa bersalah yang mendalam, dan beban kesedihan yang tak pernah berakhir.
Meskipun ayahnya kaya, Søren dibesarkan dengan disiplin keras. Penampilan sehari-harinya jauh dari kata mewah dan hanya berpakaian apa adanya saja. Hal ini membuat Søren sering mengalami ejekan dari teman-teman sepantarnya. Untuk menghindari ejekan dari lingkungannya, dia mengasah kecerdasannya dan mulai membaca kelemahan psikologis orang lain.
Søren dikirim ke Sekolah Kebajikan Kewarganegaraan (Borgerdydskolen), salah satu sekolah terbaik di Kopenhagen, untuk menerima pendidikan klasik. Di sana, lebih banyak waktu dicurahkan untuk belajar bahasa Latin daripada mata pelajaran lainnya. Søren unggul secara akademis, terutama dalam bahasa Latin dan sejarah, meskipun teman-teman sekelasnya mengatakan dia kesulitan dalam menulis komposisi bahasa Denmark.
Masalah ini menjadi nyata ketika Søren berusaha memasuki dunia sastra Denmark sebagai penulis. Publikasi awalnya dipenuhi dengan konstruksi bahasa Jerman yang rumit dan penggunaan frasa Latin yang berlebihan. Namun, ia akhirnya menjadi ahli dalam bahasa ibunya, menjadi salah satu penata bahasa Denmark terhebat pada masanya bersama Hans Christian Andersen.
Kebiasaan Søren yang senang berjalan-jalan di sepanjang jalan-jalan kecil di Kopenhagen turut membentuk cara berpikirnya. Pada tahun 1848, Kierkegaard menulis, "Saya merasakan kepuasan Kristiani yang nyata dengan pemikiran bahwa, jika tidak ada yang lain, pasti ada satu orang di Kopenhagen yang dapat dengan bebas disapa dan diajak bicara oleh setiap orang miskin di jalan. Ada seorang laki-laki yang, tidak peduli status sosialnya, tidak menghindari kontak dengan orang miskin. Dia tetap menyapa setiap pelayan perempuan yang dikenalnya, setiap pelayan laki-laki, dan setiap pekerja biasa."
Ayah Søren senang dengan perkembangan jalan hidup yang diambil olehnya. Ayahnya selalu hadir dalam karya-karyanya, muncul dalam kisah pengorbanan, melankolis, dan rasa bersalah yang diwariskan. Ia digambarkan sebagai patriark yang menjadi pola dasar dan bahkan disebutkan secara eksplisit di awal beberapa tulisannya. Sebaliknya, ibu Søren tidak pernah disebutkan, bahkan pada catatan hari kematiannya di tahun 1834.
Namun, bahasa ibunya hadir di mana-mana dalam karyanya. Dalam Concluding Unscientific Postscript (1846), Søren menulis bahwa "orang yang hadir di mana-mana harus dikenali justru karena tidak terlihat," sehingga kita bisa berspekulasi bahwa sang ibu mungkin lebih hadir daripada sang ayah, meski tidak terlihat. Terlepas dari spekulasi ini, ketidaktampakan ibunya dan perlakuan terhadap perempuan dalam tulisannya menunjukkan hubungan Søren yang tidak nyaman dengan lawan jenis.
Søren memulai studi teologi di Universitas Kopenhagen, kemudian memperluasnya ke filsafat dan sastra. Awalnya, dia merasa putus asa dan menjalani kehidupan yang tidak bermoral, bahkan berusaha menjadi seorang pesolek. Dia memiliki banyak utang yang akhirnya dibayar oleh ayahnya. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1838, Søren berhasil menyelesaikan gelarnya dan tampak ditakdirkan menjadi pendeta di Gereja Rakyat Denmark.
Pada tahun 1840, sebelum mendaftar di Seminari Pastoral, Søren bertunangan dengan Regina Olsen. Pertunangan ini menjadi dasar kisah cinta yang terkenal dalam tulisan-tulisannya. Namun, Søren menyadari bahwa dia tidak dapat menghidupi istri dan anak-anak dengan kekayaan warisan ayahnya. Pembenaran utama Søren untuk memutuskan pertunangannya adalah dedikasinya pada kehidupan menulis sebagai penyair religius, di bawah arahan ilahi.
Pada masa itu, Lutheranisme kontemporer di Denmark melihat adanya kesinambungan yang lancar antara manusia dengan Allah. Søren Kierkegaard, seorang filsuf dan teolog terkenal, menolak pandangan ini. Menurutnya, terdapat kesenjangan yang tak terhingga antara Allah dan manusia. Søren berpendapat bahwa ada jurang pemisah antara kebejatan manusia dan kekudusan Allah.
Kesenjangan yang tak terhingga ini, menurut Søren, hanya dapat dijembatani oleh Allah sendiri melalui Yesus Kristus. Ia juga menggambarkan manusia sebagai makhluk berdosa karena keterbatasan mereka. Dalam pandangannya, "Tanpa kesadaran akan dosa, tidak akan ada Kekristenan sejati."
Søren dalam bukunya "Practice in Christianity" ikut menyoroti aspek-aspek inti dari iman Kristen, khususnya mengenai hubungan individu dengan Kristus dan tantangan dalam menjalani kehidupan Kristen yang autentik. Dalam buku ini berusaha untuk memisahkan apa yang ia lihat sebagai "Kristen nominal" atau "Kristen sosial" dari "Kristen sejati" yang benar-benar mengikuti ajaran dan teladan Kristus. Dia menekankan pentingnya "menjadi murid" dan bukan hanya "menjadi pengikut". Baginya kehidupan Kristen sejati adalah perjuangan yang terus-menerus dan menuntut penyangkalan diri serta pengorbanan. Ini sangat jauh panggang dari api dari yang selama ini dipraktekkan oleh orang Kristen KTP, yang dijalankan gereja-gereja Lutheran.
Pada tanggal 2 Oktober 1855, Søren jatuh pingsan di jalan dan mengalami kelumpuhan pada kaki. Dia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Frederick. Penyakit yang dideritanya tidak sepenuhnya jelas, tetapi kemungkinan itu adalah suatu penyakit tulang belakang. Selama empat puluh hari berada di kamar rumah sakit, Søren melarang saudaranya, Peter, untuk masuk. Temannya, Pendeta Boesen, mengunjunginya setiap hari. Boesen mencoba memberikan Komuni Suci kepada Søren, tetapi Søren menolaknya.
Ketika ditanya apakah dia menginginkan Komuni, Søren menjawab, "Ya, tetapi bukan dari seorang pendeta". Dia lebih memilih meninggal tanpa menerima Komuni daripada bertentangan dengan prinsipnya sendiri. Søren pernah mengatakan bahwa Gereja Lutheran harus ditinggalkan selama Tuhan dihina di gereja-gereja. Menurutnya, "Para pendeta adalah pejabat kerajaan, dan pejabat kerajaan tidak berhubungan dengan Kekristenan."
Soren meninggal 11 November 1855, dan sepanjang hidupnya melalui tulisan-tulisannya mengajak orang-orang untuk mengeksplorasi dan merenungkan iman Kristen dengan cara yang introspektif dan eksistensial. Dia juga menantang mereka untuk menghadapi keraguan dan ketidakpastian dalam iman mereka, serta mendorong mereka untuk menemukan hubungan yang lebih autentik dengan Tuhan. Tidak hanya itu, Soren juga menawarkan panduan spiritual bagi mereka yang mencari makna dan tujuan dalam kehidupan mereka melalui tulisan-tulisannya yang masih relevan sampai sekarang.