Ini adalah kelanjutan cerita kami dari Perjalanan Satu Dalam Kasih (SDK) di Mamosalato. Setelah selesai melakukan pembagian Alkitab dan bacaan-bacaan rohani anak di Lijo, kami dijemput ojek motor untuk melanjutkan perjalanan ke titik berikutnya, yaitu Matauekoyo. Pengemudi ojek motor yang memboncengkan saya bernama Ferdinant Rajawane. Dari namanya kita bisa menebak kalau Ferdinant berasal dari Maluku. Jarak dari Lijo menuju desa Upakatekoyo hanya sekitar 5 kilometer dan hanya bisa ditempuh dengan motor melintasi hutan-hutan. Jalannya sebenarnya juga cukup lebar. Tetapi medannya naik turun perbukitan dan berbatu-batu. Pak Ferdinant dengan terampil mengendarai motor naik turun jalan di gunung berbatu dan becek serta melintasi sungai Uekoyo. Terkadang kami harus turun dari motor saat melintasi kuala (sungai) atau saat melewati jalanan menurun dan menanjak yang curam. Mengingat medan yang begitu sulit, biaya perjalanan pulang pergi sebesar Rp 200.000 terhitung wajar bahkan murah.
Sepanjang menikmati perjalanan kami berbicara tentang berbagai hal. Seputar daerah yang akan kami datangi, maupun kisah kehidupan Pak Ferdinat sendiri. Saya sempat kaget sewaktu Pak Ferdinant bercerita bahwa dirinya seorang misionaris atau penginjil. Menjadi misionaris sendiri mulanya bukan pilihan hidup Ferdinant. Ia pernah merantau ke Jakarta dan beberapa kota lain. Karena salah pergaulan, kehidupannya sempat jauh dari Tuhan. Bahkan ia sempat masuk bui. Ia mesti menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan (lapas) selama enam bulan. Dua hari sebelum bebas, dalam tidurnya ia bermimpi. Sebuah sosok mendatangi dan memanggilnya,”Nak, bangunlah. Ikutlah Aku,”demikian panggil sosok tersebut. Mimpi tersebut berulang sampai tiga kali. Menyebabkan Ferdinant gelisah dan menceritakan mimpi tersebut kepada guru pembimbingnya di lapas. Guru pembimbingnya menyampaikan bahwa bisa jadi itu panggilan dari Tuhan untuk melayani-Nya. Ferdinant pun yakin dan berjanji untuk melayani Allah sepanjang hidupnya.
Setelah Ferdinant keluar dari lapas, Ferdinant sempat masuk sekolah Alkitab di Surabaya. Ia pun menerima ibadah pembersihan atas dirinya sebagai pertobatan. Kemudian seorang kakak angkatan di sekolah Alkitab mengajaknya melayani di Sulawesi. Ia mengiyakan ajakan tersebut tanpa tahu di mana lokasi tempat pelayanan tersebut.
Pada 2014, Ferdinant tiba di Luwuk, Sulawesi Tengah. Ia sempat melayani di sana selama satu tahun. Setelahnya ia sempat pulang ke Surabaya karena belum ada kepastian tentang masa depan pelayanannya di Luwuk. Bapak Gembalanya di Surabaya menawarinya untuk mendampingi dan melayani tenaga-tenaga kerja Indonesia di Hongkong atau Saudi Arabia. Namun, kali ini orang tuanya tidak mengizinkan. Mereka menganggap Hongkong atau Saudi Arabia terlalu jauh. Sementara, kakak kandungnya juga melarang Ferdinant untuk kembali ke Jakarta. Tampaknya kakaknya khawatir Ferdinant kembali jatuh dalam pergaulan da lingkungan yang salah.
Akhirnya pada tahun 2016, dengan bulat hati Ferdinant memutuskan melayani Dusun Matauekoyo, di Mamosalato, Sulawesi Tengah. Matauekoyo artinya pikul air. Saat itu umat Tuhan di Matauekoyo belum memiliki gembala atau pendeta.
Sebagai seorang Penginjil, tugas Pak Ferndinant adalah memperkenalkan dan meneguhkan iman umat kepada Kristus melalui firman-Nya. Ia mendampingi umat dalam membaca dan mendorong mereka mencintai Firman Tuhan. Meskipun tidak semua warga memiliki Alkitab. Pak Ferdinant juga mengajari masyarakat bagaimana mengelola lahan pertanian dan menjaga kelestarian lingkungan.
Tampaknya masyarakat di sana mencintai Ferdinant. Seiring berjalannya waktu, dia dipercaya menjadi kepala dusun Mataeukoyo. Selain bertani, Pak Ferdinant juga menanan pohon Nilam, karena mempunyai nilai ekonomis yang menjanjikan. Hasil menyuling daun nilam dapat digunakan sebagai bahan dasar minyak wangi.
Setelah pembagian Alkitab di GKST dan GBI Mataeukoyo, kami kembali menyusuri jalanan hutan untuk diantar lagi menuju pertigaan jalan besar. Dari pertigaan tersebut kami akan melanjutkan perjalanan dengan mobil pick up ke desa Paramba. Jaraknya sekitar 30 km, namun harus ditempuh dalam waktu dua jam karena jalannya naik turun gunung.
Entah kapan lagi saya akan bertemu dengan Pak Ferdinant. Jakarta dan pedalaman Mataeukoyo terpisah ratusan kilometer. Namun, Roh Kristus menyatukan kami dalam persaudaraan. Kesaksian hidupnya mengajarkan kita satu hal, Tuhan bisa memakai siapa pun untuk menjadi pelayan-Nya. Ketika Roh Kudus menyentuh hidup Ferdinant, hidupnya berubah. Dari orang yang hanya memikirkan diri sendiri, menjadi orang yang mengabdikan dirinya bagi Tuhan dan sesama. Segala kemuliaan hanya bagi Tuhan(Alpa)