Pada tanggal 13 Maret 2013, dunia menyaksikan momen bersejarah ketika Jorge Mario Bergoglio terpilih sebagai Paus ke-266 Gereja Katolik dan mengambil nama Fransiskus. Ketika ia pertama kali muncul di balkon Basilika Santo Petrus, bukan kemegahan yang ditampilkan, melainkan kesederhanaan. Ia mengenakan pakaian putih sederhana dan sebuah kalung salib yang terbuat dari perak menggantung di lehernya—sebuah simbol yang lebih kuat dari seribu kata: ia datang bukan untuk memerintah, melainkan untuk melayani.
Pilihan nama “Fransiskus” diambil sebagai penghormatan kepada Santo Fransiskus dari Assisi, sang pencinta damai, pelindung kaum miskin dan ciptaan. Dalam konferensi pers pertamanya pada 16 Maret 2013, Paus menjelaskan bahwa nama itu terinspirasi dari bisikan seorang sahabat, Kardinal Claudio Hummes, yang berkata, “Jangan lupakan kaum papa.” Kata-kata itu ia genggam erat, dan ia bawa menjadi misi kepausannya: gereja yang berpihak kepada mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Seruan itu berpadanan di pilihan jalan hidupnya. Instruksinya sebagai seorang Paus ialah penolakannya untuk tinggal di Istana Apostolik atau setara dengan istana kepresidenan pada negara-negara lain. Melainkan tinggal di kompleks apartemen kepausan di Casa Santa Marta. Mobil mewah diganti dengan kendaraan sederhana, bahkan ia menyebut mobil tahan peluru sebagai “kaleng sarden.” Tak ada jarak, tak ada tembok—hanya pelayanan.
Kunjungan apostolik pertamanya bukan ke pusat kekuasaan, melainkan ke pulau kecil Lampedusa di selatan Italia. Di sanalah ribuan imigran dari Afrika terdampar setelah menempuh perjalanan melintasi Laut Tengah. Saat negara-negara Eropa sibuk menutup pintu dan memperketat perbatasan, Paus Fransiskus membuka hatinya, dan menyapa mereka sebagai saudara. Kunjungannya ke Lampedusa bukan sekadar simbol, tetapi seruan moral yang menggema jauh melampaui batas-batas negara, bahkan memengaruhi kebijakan imigrasi di sejumlah negara Eropa.
Dalam berbagai kesempatan, Paus Fransiskus menunjukkan kesetiaan pada teladan Yesus yang membasuh kaki para murid. Ia membasuh dan mencium kaki para imigran dan tahanan, tanpa memandang agama, bangsa, atau latar belakang. Pada Kamis Putih 2016, ia membasuh kaki para pengungsi dari Mali, Nigeria, Eritrea, Suriah, Pakistan, dan India, termasuk tiga pria Muslim. Tindakan ini menegaskan kembali bahwa kerendahan hati bukan sekadar ritual, tetapi kesaksian hidup.
Hadiah-hadiah mewah yang diberikan kepadanya, seperti motor Harley-Davidson atau mobil sport, dijual dan hasilnya disumbangkan untuk amal. Bahkan beliau tidak mengambil tunjangan atau ‘gaji’, sebuah kebiasaan yang telah dijalankannya jauh sebelum diangkat menjadi Paus. Setiap pemberian diubah menjadi harapan bagi mereka yang paling membutuhkan.
Kita tentu masih mengingat jelas kunjungan beliau ke Indonesia. Paus Fransiskus kembali menegaskan kesederhanaannya. Ia menolak kendaraan mewah dan memilih mobil yang lebih sederhana, menunjukkan bahwa nilai seorang pemimpin bukan diukur dari kemewahan, tetapi dari seberapa dekat ia pada rakyatnya.
Ketika saat terakhirnya tiba, ia memilih peti sederhana sebagai tempat peristirahatan terakhir. Tidak ada emas, tidak ada ukiran rumit—hanya kayu.
Paus Fransiskus berpulang pada tanggal 21 April 2025. Warisan yang ditinggalkan tidak dalam bentuk bangunan megah atau dokumen panjang semata. Ia meninggalkan sebuah cara hidup: keberanian untuk merasa cukup, kekuatan untuk menolak keserakahan, dan keagungan yang lahir dari kerendahan hati. Kesederhanaan bukanlah gaya, tetapi nilai Injil yang dihidupi secara otentik. Di tengah dunia yang semakin dibutakan oleh konsumerisme, materialisme, dan individualisme, warisan Paus Fransiskus bagaikan bisikan lembut sekaligus menggetarkan: bahwa menjadi besar bukanlah soal memiliki banyak, tetapi memberi banyak. Keagungan sejati bukan terletak pada takhta, tetapi pada cinta yang mengalahkan ego dan memaksa diri untuk membungkuk dan melayani berlandaskan kerendahan hati serta cinta kepada Sang Pencipta.
Hidupnya menjadi lambang iman yang bersahaja tetapi kuat, sederhana tetapi bermakna, sunyi dan tetap lantang bersuara. Lewat hidupnya kita melihat sosok yang teguh disembah-Nya. Kristus yang juga memilih jalan kesederhanaan dan kerendahan hati sebagai cara merengkuh dunia yang tengah dirundung dosa.