HASRAT UNTUK BERKUASA! MEMBACA KISAH MENARA BABEL | Hortensius F. Mandaru, SSL

Berita | 19 Jun 2025

HASRAT UNTUK BERKUASA! MEMBACA KISAH MENARA BABEL | Hortensius F. Mandaru, SSL


Sepanjang sejarah umat manusia, hasrat untuk berkuasa seringkali menjadi akar dari konflik, penindasan, dan kehancuran. Dari perang kuno hingga politik modern, dari penaklukan territorial hingga dominasi ekonomi dan ideologis, manusia kerap terjebak dalam ambisi untuk menguasai sesamanya dan mengabadikan dirinya. Teks Kejadian 11:1–9 menggambarkan dinamika ini dalam bentuk kisah naratif kuno tentang pendirian sebuah kota dan menara di Babel. Meskipun tampak seperti cerita etiologis tentang asal-muasal mengapa ada berbagai bahasa, narasi ini menyimpan teguran teologis yang mendalam tentang kecenderungan manusia untuk melampaui batas sebagai ciptaan.

 

Struktur Naratif dan Kontras Proyek

Kejadian 11:1–9 tersusun dalam dua sudut pandang: manusia dan Allah. Ayat 1–4 mencatat proyek kolektif umat manusia: membangun kota dan menara yang puncaknya sampai ke langit dan “mencari nama.” Ayat 5 menjadi titik balik ketika Allah “turun” untuk melihat apa yang dilakukan manusia, ironi yang tajam terhadap klaim ketinggian proyek tersebut. Ayat 6–9 kemudian mengungkapkan respons Allah: bukan penghukuman, tetapi pembatasan, dengan mengacaukan bahasa mereka dan menyerakkan mereka ke seluruh bumi. Dua proyek besar, kota buatan manusia dan intervensi Allah yang bertabrakan. Yang satu hendak mengkonsolidasikan kuasa, yang lain justru menyebarkan dan membatasi.

 

Makna Kota dan Menara: Simbol Kekuasaan dan Keabadian

Dalam budaya Timur Dekat kuno, membangun kota dan menara bukan hanya soal arsitektur. Itu adalah pernyataan politik dan religius. Kota merupakan pusat kuasa, tempat tinggal para penguasa, simbol kekuatan militer dan ekonomi, dan alat untuk mempertahankan dominasi atas rakyat. Menara, מִגְדָּל—‬migdal, sering ditafsirkan merujuk pada struktur arsitektural khas Mesopotamia kuno yang dikenal dengan sebutan ziggurat, merupakan representasi simbolis dari keterhubungan dengan ilahi. Namun, dalam narasi ini, keduanya digambarkan sebagai proyek manusia yang mencoba menembus langit—melintasi batas antara ciptaan dan Pencipta.

 

Frasa “marilah kita mencari nama supaya kita” (ayat 4) menunjukkan dorongan manusia untuk imortalitas: keinginan untuk mengabadikan nama, eksistensi, dan pengaruh mereka. Kota dan nama menjadi alat untuk melanggengkan diri di tengah kefanaan. Dalam hal ini, hasrat untuk berkuasa erat kaitannya dengan ketakutan akan kematian dan kehendak untuk menjadi seperti Allah.

 

Kota sebagai Instrumen Kekuasaan

Kota dalam dunia kuno bukan sekadar permukiman, melainkan sarana utama untuk melanggengkan kuasa dan menegaskan hasil penaklukan. Kerajaan-kerajaan besar seperti Asyur dan Babel memperluas wilayah mereka melalui peperangan dan ekspansi militer. Namun, setiap kali seorang raja wafat, kesempatan untuk pemberontakan oleh raja-raja bawahan (vassal) pun muncul, dengan harapan meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, raja baru biasanya memulai pemerintahannya dengan menumpas pemberontakan demi menjaga stabilitas dan melanjutkan ekspansi. Salah satu cara untuk menunjukkan kendali atas wilayah taklukan adalah dengan mendirikan kota-kota berkubu lengkap dengan puri di dalamnya. Kota seperti itu berfungsi sebagai simbol kehadiran sang penguasa dan representasi konkret dari kekuasaannya. Melalui pembangunan kota dan struktur monumental, para penguasa meneguhkan otoritasnya dan berupaya melanggengkan nama serta dominasinya atas sejarah.

 

Konteks inilah yang membantu kita memahami motif di balik pembangunan kota dan menara dalam Kejadian 11. Ini bukan sekadar proyek kolektif, melainkan gambaran dari hasrat imperialis: membangun struktur yang bukan hanya fungsional, tetapi juga monumental, yang mencerminkan kekuasaan, kontrol, dan ketakutan akan kehilangan kendali.

 

Kesombongan dan Pelanggaran Batas

Pembacaan tradisional melihat dalam proyek Babel suatu bentuk “hybris” atau kesombongan manusia. Mereka tidak hanya mengabaikan perintah Allah untuk “memenuhi bumi” (Kejadian 1:28; 9:1), tetapi juga mencoba merusak tatanan kosmik dengan membangun “menara yang puncaknya sampai ke langit.” Keinginan untuk menaklukkan ruang ilahi mencerminkan pola pelanggaran batas yang terus berulang dalam narasi Kejadian: Adam dan Hawa di taman, “anak-anak Allah” dalam Kejadian 6, dan sekarang umat manusia secara kolektif di Babel.

 

Namun, tidak seperti dalam kisah sebelumnya, narasi Babel tidak secara eksplisit menyebutkan dosa atau hukuman. Allah tidak menjatuhkan kutuk, melainkan membatasi, mirip dengan orang tua yang melindungi anak dari bahaya besar. Ini menunjukkan bahwa tindakan Allah bukanlah pembalasan, melainkan penyelamatan dari kebinasaan yang diakibatkan oleh ambisi yang tak terkendali.

 

Pembacaan Politis dan Kritik atas Ideologi

Narasi Babel juga dapat dibaca dalam kacamata politis. Ungkapan “satu bahasa dan satu logat” (ayat 1) bukan semata soal linguistik, tetapi soal keseragaman ideologis: satu pemahaman, satu agenda. Ini adalah kondisi yang sangat rawan dimanfaatkan oleh kekuasaan tiranik. Maka, intervensi Allah yang mengacaukan bahasa dapat dimaknai sebagai pembongkaran terhadap sistem tunggal yang berpotensi menindas keragaman dan kebebasan.

 

Pembangunan kota dan menara bukan hanya soal kemajuan, tetapi tentang sentralisasi kuasa. Kota itu bukan sekadar permukiman, ia adalah lambang monopoli kekuasaan, struktur hierarkis, dan pembungkaman. Dalam konteks ini, campur tangan Allah membongkar dominasi dan mendorong pemencaran yang membuka ruang bagi keberagaman, relasi yang setara, dan otonomi komunitas.

 

Pencarian Nama dan Ketakutan Terserak

Ketakutan manusia akan “terserak” ke seluruh bumi (ayat 4) mencerminkan kecemasan identitas. Dalam budaya kuno, terserak berarti kehilangan tempat, nama, dan eksistensi kolektif. Nama menjadi simbol identitas dan keberlanjutan komunitas. Karena itu, mendirikan kota dan membuat nama adalah strategi simbolis dan eksistensial untuk menghindari kefanaan dan kepunahan.

 

Namun, justru di sinilah Allah bertindak. Bukan karena manusia berbuat jahat secara eksplisit, tetapi karena dalam kecemasan mereka, manusia mencoba merebut kuasa ilahi: imortalitas, kesatuan absolut, dominasi total. Mereka tidak hanya ingin membangun dunia; mereka ingin menguasainya sepenuhnya, atas nama mereka sendiri.

 

“Kota Babel dan menaranya adalah sebuah satire, kisah ini dituliskan dengan penuh ironi dan olokan, mengkritik negara-negara adidaya pada masanya. Cerita yang menertawakan ambisi dan hegemoni para penguasa dan adidaya zaman itu.”

 

Selanjutnya dapat diikuti melalui link:

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia