Bincang Alkitab | Tri Harmadji, Ph.D.
Fenomena memilih untuk tidak memiliki anak (childfree) telah menjadi isu yang semakin hangat dalam diskursus sosial-kultural modern. Pilihan ini tak jarang memantik pro dan kontra, baik dalam lingkup masyarakat umum maupun dalam komunitas gereja. Di satu sisi, banyak pasangan masih mendambakan hadirnya anak sebagai anugerah hidup. Di sisi lain, tak sedikit pula individu atau pasangan yang secara sadar memutuskan untuk tidak memiliki keturunan. Keputusan tersebut diambil bukan karena ketidakmampuan biologis atau ekonomi, tetapi sebagai bentuk pilihan hidup. Lantas, bagaimana seharusnya umat Kristen memandang realitas ini? Apakah memiliki anak adalah pilihan pribadi, panggilan sakral, atau bahkan perintah ilahi?
Perubahan Pandangan tentang Anak: Dari Komunal ke Individual
Dalam masyarakat zaman Alkitab, anak dipandang sebagai berkat ilahi dan penanda kemuliaan keluarga. Kemandulan dianggap sebagai kutukan (lihat 1 Samuel 1; Kejadian 30), sementara kesuburan merupakan simbol partisipasi dalam janji Allah. Anak adalah aset komunal, tidak hanya milik keluarga inti tetapi bagian dari eksistensi suku, bangsa, dan keberlangsungan umat pilihan Allah.
Namun, sejak abad ke-19 dan ke-20, muncul perubahan mendasar dalam struktur sosial dan filosofi hidup. Beberapa faktor penyebabnya adalah:
- Individualisme – Munculnya gagasan kebebasan individu yang memungkinkan seseorang membuat keputusan hidup tanpa tekanan komunal. Dalam kerangka ini, anak bukan lagi dilihat sebagai kewajiban bagi setiap pasangan, melainkan subjek pilihan.
- Perkembangan teknologi kontrasepsi – Kemajuan ini memungkinkan kontrol atas reproduksi dan waktu kehamilan, yang sebelumnya tidak dapat dilakukan.
- Emansipasi perempuan – Gerakan feminisme modern menantang peran tradisional perempuan sebagai ‘alat reproduksi’, dan mendorong perempuan untuk merealisasikan identitas diri di luar fungsi biologis sebagai ibu.
- Perubahan struktur ekonomi dan sosial – Dari masyarakat agraris ke industri dan urban, anak tidak lagi dipandang sebagai tenaga kerja atau sumber ekonomi keluarga, tetapi sebagai beban finansial, terutama karena meningkatnya kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup.
Anak dalam Perspektif Alkitab: Panggilan atau Perintah?
“Allah memberkati mereka dan berfirman kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah. Penuhilah dan taklukkanlah bumi. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara dan atas segala binatang melata di bumi!”” (Kejadian 1:28).
Ayat ini sering dikutip sebagai dasar perintah untuk memiliki anak. Namun, pendekatan teologis yang teliti perlu membedakan antara perintah, panggilan, dan berkat. Ada dua hal penting yang dapat dicermati dari teks tersebut:
- Perintah yang termuat dalam berkat – Perintah untuk beranak cucu tidak berdiri sendiri sebagai kewajiban legalistik, melainkan sebagai isi dari berkat Allah. Ini menandakan bahwa kehadiran anak tidak dimaksudkan sebagai beban atau kewajiban yang akhirnya membuat manusia sengsara, tetapi sebagai partisipasi manusia dalam proyek penciptaan dan pemeliharaan ciptaan.
- Tanggung jawab penyediaan – Allah terlebih dahulu menyediakan dunia yang layak huni sebelum manusia dipanggil untuk beranak cucu. Dengan demikian, tanggung jawab untuk memiliki anak bukan hanya soal ketaatan, tetapi juga soal kesiapan menciptakan ‘taman Eden’, yaitu ruang hidup yang layak, aman, dan mendukung pertumbuhan anak.
Antara Pilihan Etis dan Panggilan Rohani
Apakah berarti setiap pasangan Kristen harus memiliki anak? Jawabannya tidak sesederhana itu. Dalam Perjanjian Baru, tidak ditemukan keharusan eksplisit untuk memiliki anak sebagai syarat ketaatan kepada Allah. Paulus bahkan memuji kehidupan selibat dalam 1 Korintus 7 sebagai bentuk devosi khusus kepada Tuhan, tanpa meniadakan nilai keluarga dan anak. Namun demikian, menolak kehadiran anak secara apriori dan egoistik tanpa dasar moral dan tanggung jawab spiritual, tentu perlu dikritisi. Karena pada dasarnya, Alkitab mengajarkan bahwa kehidupan, termasuk kelahiran, adalah bagian dari misi Allah di dunia ini.
Apabila seseorang atau pasangan memutuskan untuk menerima anak sebagai anugerah, maka tanggung jawab selanjutnya adalah menciptakan ‘taman Eden’ bagi pertumbuhan anak itu. Bukan semata tentang tempat yang mewah, tetapi sebuah ruang yang menyediakan kebutuhan dasar (seperti makanan, tempat tinggal, dan kasih sayang), serta memberikan pendampingan spiritual dan moral kepada anak. Sebagaimana Allah hadir dalam kebersamaan dengan manusia, begitu pula orang tua perlu menyediakan waktu, perhatian, dan keterlibatan aktif dalam proses pertumbuhan anak-anak mereka.
Memiliki anak dalam terang iman Kristen bukanlah sekadar persoalan pilihan atau keharusan, tetapi panggilan, yakni undangan ilahi untuk membuka hati terhadap anugerah kehidupan dan menyambutnya dengan tanggung jawab yang dewasa.
Di tengah dunia yang semakin kompleks, keputusan ini menuntut lebih dari sekadar kalkulasi rasional; ia memerlukan perenungan spiritual yang jernih dan peka terhadap kehendak Allah. Namun demikian, gereja pun dipanggil untuk bijak dan penuh pengertian: tidak setiap orang menerima panggilan yang sama. Maka, gereja hendaknya menjadi ruang yang inklusif dan penuh kasih, bukan tempat penghakiman, melainkan komunitas yang mendampingi setiap orang untuk setia pada panggilan hidup mereka masing-masing, sesuai konteks dan kapasitas yang dianugerahkan Allah. Akhirnya, entah seseorang memilih untuk memiliki anak atau tidak, yang terutama adalah kesetiaan pada Allah yang menciptakan hidup dan memanggil setiap insan untuk ambil bagian dalam karya kasih-Nya dengan cara yang otentik, penuh kasih, dan bertanggung jawab. Sebab tidak seperti makhluk lain yang digerakkan semata oleh naluri, manusia diberi anugerah akal budi untuk mempertimbangkan: bukan sekadar apakah kita ingin memiliki anak, melainkan apakah kita telah menyiapkan ‘taman Eden’ yang layak bagi mereka. Sebuah ruang hidup yang menyambut bukan dengan egoisme, melainkan dengan cinta dan kesiapan sejati.
"Masihkah kita setia kepada Tuhan, meski hidup kita tak seperti skenario umum keluarga ideal?”
Selengkapnya mari saksikan di tautan ini