Dalam pemahaman umat pada umumnya, bencana dihubungkan dengan hukuman Tuhan. Ketika gempa bumi, tsunami dan pencairan tanah menelan ribuan korban di Palu dan sekitarnya, muncul pemahaman bahwa bencana three in one itu adalah hukuman Tuhan kepada masyarakat dan pemerintah di sana, karena melakukan ritual kafir. Bagian-bagian kota yang tenggelam ke dalam pusaran lumpur adalah pusat-pusat kehidupan maksiat. Di dalam Alkitab, teks-teks bencana seperti kisah air bah di masa Nuh, kehancuran kota-kota Sodom dan Gomora, wabah penyakit sampar dan beberapa kisah lainnya juga dinarasikan sebagai hukuman Tuhan. Padahal kisah-kisah itu juga berbicara tentang tindakan penyelamatan Allah.
Kisah penyelamatan Allah seringkali dilupakan orang saat mereka fokus pada bencana itu sendiri dan sibuk meratapi keadaan. Semua dilihat sebagai hukuman Tuhan. Padahal kalau Tuhan bermaksud menghukum manusia, maka sudah lama umat manusia punah dari muka bumi ini. Karenanya kita perlu melihat bencana alam sebagai kejadian normal dalam eksistensi alam. Bumi terus bergerak; lempeng-lempeng antarbenua bersentuhan menimbulkan gempa (dan tsunami). Banjir terjadi karena curah hujan berlebihan, karena hutan gundul, karena wilayah resapan air dijadikan pemukiman. Daya tahan tubuh manusia terhadap serangan penyakit menular melemah antara lain disebabkan oleh kelalaian manusia dalam menjaga kesehatannya, sekali lagi ini bukan soal dosa. Sederhananya, bencana alam adalah kejadian alam yang normal sesuai hukum alam, namun menjadi bencana ketika manusia menjadi korbannya, karena berada di wilayah bencana. Sedang bencana non-alam adalah kondisi dimana kerentanan meningkat, daya tahan tubuh menurun dan ada kejadian yang menjadi pemicu seperti wabah penyakit menular. Tetapi jangan lupa, walaupun manusia dapat kapan saja menjadi korban bencana, mereka juga dapat bertahan dan menjaga diri dari dampak suatu bencana.
Ketahanan manusia dan alam dari bencana dapat kita lihat saat ini: sejak pandemi Covid-19 merebak, beberapa negara di dunia menerapkan karantina wilayah untuk mengurangi risiko penularan. Kebijakan ini memaksa warga untuk tetap tinggal di rumah dan menghindari berkumpul dengan banyak orang. Sekolah-sekolah dan tempat hiburan ditutup, beberapa perusahaan menerapkan bekerja, belajar dan beribadah dari rumah, dan transportasi umum pun dibatasi jumlah dan waktu operasionalnya. Banyak yang mengatakan, langkah-langkah ini membuat kondisi bumi menjadi lebih baik dan sehat. Pencemaran udara di Jakarta, khususnya, semakin menipis, udara semakin bersih dan langit tampak cerah. Semua orang bisa berjemur di bawah matahari pagi dan menghirup udara segar. Semua itu mengingatkan kita, bahwa jika kita mampu menjaga bumi ini, maka alam pun akan memberikan segala kebaikannya kepada kita.
Kebaikan-kebaikan yang diberikan alam ini mengajak kita untuk menjalani hidup dalam kenormalan baru (new normal). Dan sebagai umat beriman mari kita belajar melihat setiap peristiwa (bencana) tidak melulu dari sudut pandang negatif sebagai hukuman Tuhan. Kita juga perlu mengingat bahwa selalu ada campur tangan Tuhan dalam peristiwa-peristiwa yang kita alami. Bencana dapat dipahami sebagai cara Allah untuk membaharui ciptaan-Nya, sehingga manusia dapat turut memulihkan kehidupan bersama dalam keluarga dan masyarakat, bahkan antar-bangsa. Misalnya, saat ini kita dapat melihat dimana-mana masyarakat dapat saling membantu dan menghidupkan rasa solidaritas satu dengan yang lain. Keluarga-keluarga dapat memanfaatkan waktu bersama yang selama ini tidak terlalu mereka perhatikan. Masing-masing orang berlajar hidup sehat dan bersih. Kemana-mana memakai masker dan mencuci tangan setelah bersentuhan dengan benda-benda yang berpotensi sebagai perantara penyebaran virus. Banyak orang yang memilih memasak sendiri ketimbang membeli karena dianggap lebih hiegenis, dan masih banyak lagi perubahan-perubahan baru di balik bencana yang terjadi.
Allah pun turut berkarya dalam perubahan-perubahan baru itu. Bukan hanya alam ciptaan yang baru tetapi juga hidup manusia. Gambaran ini nampak jelas tertulis dalam Wahyu 21:1, “Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi.” Bukan berarti yang lama hilang sama sekali, namun diperbaharui. Di tengah bencana yang kita alami pun Allah hadir di tengah umat-Nya dan membaharui ciptaan-Nya. Namun Allah tidak bekerja sendiri, Ia menghendaki kita terlibat dalam karya pemulihan ciptaan. Bisa jadi melalui pandemi ini Allah hendak mengingatkan, khususnya bagi kita yang selama ini hanya sibuk dengan ritual-ritual keagamaan, untuk tidak mengabaikan pelayanan keadilan, baik keadilan sosial maupun keadilan ekologis.
Kondisi bumi yang sedang memulihkan dirinya sendiri ini, bisa menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk melakukan restart button yaitu dengan mulai menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. Terlebih dengan upaya penerapan kenormalan baru (new normal) ini kita dituntut untuk membiasakan diri menjaga daya tahan tubuh kita dan lingkungan dari serangan virus. Sehingga kita tidak lagi sibuk menyalahkan orang lain sebagai pendosa dan mempertanyakan keberadaan Tuhan yang seolah-olah meninggalkan manusia. Jika kita tertular penyakit, sekali lagi, itu karena kelalaian kita sendiri. Dalam situasi ini, mari bersama-sama kita merenungkan dan memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu sesama dan menjaga kelestarian alam.
Perubahan memang akan terus terjadi dalam hidup kita, karenanya kitapun harus belajar berubah bersamanya. Dan di tengah perubahan melalui kenormalan baru (new normal) ini kita pun memiliki pemahaman yang baru bahwa sesungguhnya di tengah bencana yang terjadi Allah sedang berkarya memulihkan seluruh ciptaan-Nya.
Pdt. Sri Yuliana M. Th