Tabut perjanjian selalu menjadi salah satu benda yang bernilai sangat tinggi di dalam seluruh narasi Alkitab. Berulang kali terjadi momen spektakuler yang melibatkan tabut perjanjian di dalamnya, entah yang bernuansa penuh suka maupun menakutkan. Namun, dari semua narasi tersebut kita selalu dapat menemukan penekanan mengenai betapa besarnya nilai dari keberadaan tabut perjanjian yang juga kerab disimbolkan sebagai kehadiran TUHAN. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika orang Israel kuno membuat tabut perjanjian dari bahan-bahan berkualitas dan bernilai tinggi.
Terdapat banyak bahan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang digunakan oleh orang Israel dalam membuat tabut perjanjian. Tentu saja, nilai ekonomis itu bukan dimaksudkan untuk menyamakan keagungan TUHAN, melainkan sebagai bentuk upaya manusia untuk melambangkan kemuliaan TUHAN itu sendiri. Inilah salah satu wujud keseriusan umat Israel dalam membangun perlengkapan peribadahannya. Mereka membangunnya secara perinci dan persis sesuai dengan arahan yang mereka dapatkan dari Musa.
Pembuatan tabut perjanjian yang dilakukan oleh orang Israel telah menjadi salah satu contoh dari upaya manusia beriman untuk menghasilkan sebuah karya yang optimal dalam berbagai bentuk. Berdasrkan bacaan hari ini memang kita melihat upaya dari bangsa Israel menciptakan sebuah benda yang terbuat dari bahan-bahan yang memiliki nilai ekonomis dan nilai seni yang tinggi sebagai wujud keseriusan mereka dalam mempersembahkan hidup yang sungguh-sungguh kepada TUHAN. Namun, wujud persembahan hidup sebagai umat TUHAN tidak melulu mewujud dalam hal-hal yang bersifat materil, melainkan juga dalam setiap karya hidup yang dapat kita lakukan dalam keseharian.
Setiap laku hidup yang kita bangun dalam relasi dengan orang lain sesungguhnya dapat menjadi karya persembahan sebagai wujud keseriusan sebagai umat TUHAN. Apakah kita sudah memperlakukan sesama dengan penuh nilai kebenaran firman TUHAN atau justru sebaliknya? Kemudian, setiap laku yang kita hadirkan dalam lingkup bergereja, entah itu dalam wujud karya pelayanan maupun berbagai partisipasi ritus di dalam gereja, juga dapat menjadi karya yang kita haturkan untuk TUHAN. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana kita membentuk diri dan seluruh aksi nyata dalam hidup sebagai karya persembahan yang serius untuk TUHAN?
