Memberikan kritik atas pekerjaan orang lain adalah sesuatu yang sangat mudah dilakukan dibanding memberi kritik atas pekerjaan sendiri. Kita tidak terbeban dengan perasaan yang terluka pada saat memberikan kritik bagi orang lain. Namun, kondisi akan jauh berbeda ketika kita menghadapkan kritik kepada diri sendiri. Kritik ini berlaku dalam seluruh segi kehidupan, mulai dari relasi keseharian hingga relasi dengan TUHAN. Tidak mengherankan jika Tuhan Yesus berkata, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” Oleh sebab itu, otokritik menjadi penting untuk tetap dilakukan agar kita tidak kehilangan kesadaran atas kondisi diri dan kehidupan yang sedang kita bangun. Selain itu, melalui otokritik kita juga akan semakin mudah untuk melakukan pemetaan apakah kualitas pribadi dan kehidupan kita sudah sesuai dengan firman TUHAN atau tidak.
Aksi kenabian yang dilakukan oleh Yeremia dalam perikop ini menjadi contoh tentang kurangnya otokritik yang dilakukan oleh bangsa Israel sebagai umat TUHAN. Ternyata, mereka terlalu pongah dan tinggi hati untuk mempersilahkan firman TUHAN membentuk kehidupan mereka. Itulah sebabnya, di dalam pesan kenabian Yeremia terdapat pernyataan Ilahi yang ‘seolah-olah’ menantang bangsa Israel untuk melakukan penilaian kualitas hidup beriman di hadapan TUHAN. Apabila, mereka tetap mampu setia hidup bersama TUHAN, maka TUHAN akan tetap diam (tinggal) bersama-sama dengan mereka. Namun, seperti yang kita ketahui bersama, toh pesan kenabian itu tetap dianggap sebagai perkataan yang ‘sambil-lalu’. Mereka telah menutup diri dan tidak membiarkan nilai-nilai kebenaran firman TUHAN itu meresapi segala sendi pribadi dan kehidupan mereka.
Sahabat Alkitab, marilah kita membaca pesan kenabian Yeremia ini dalam nuansa otokritik pada diri kita masing-masing. Artinya, kita diajak untuk melakukan evaluasi personal tentang kualitas pribadi maupun kehidupan keseharian yang sedang kita bangun. Apakah kita memperlakukan firman TUHAN sebagai poros atau acuan dasar dalam kita berperilaku? Apakah kita sudah cukup memperhatikan sesama? Apakah kita sudah cukup bersedia memberikan telinga untuk mendengar keluh kesah sesama rekan kerja, rekan belajar, pasangan, orang tua, anak, atau saudara kita? Apakah kita sudah cukup bersedia untuk mengarahkan hati dan pikiran kepada TUHAN, Sang sumber kebenaran? Jangan sampai firman TUHAN justru kita gunakan sebagai ‘pisau bedah’ untuk melukai orang lain melalui berbagai kritik pedas yang kita berikan, namun kita tidak bersedia melakukannya kepada diri sendiri. Kita perlu menyadari bahwa salah satu peran firman TUHAN adalah menjadi kritik yang membangun, mulai dari diri sendiri hingga kondisi sosial-komunal.