Terkadang niatan baik yang kita miliki tidak dapat terkomunikasikan secara efektif, sehingga orang lain justru memahaminya secara berbeda. Penyebabnya bisa karena berbagai hal, salah satunya adalah cara mewujudkan niatan tersebut. Itulah mengapa, sebuah perilaku mengasihi perlu dikritisi agar tindakan tersebut tetap dapat menghadirkan kasih bagi si penerima, bukan sebaliknya.
Rasul Paulus, di dalam perikop ini, sedang menjelaskan tentang ketidakhadirannya atau lebih tepat batalnya kedatangan dirinya ke Korintus. Pada ayat 17 hingga 20 ia menjelaskan bahwa kebatalan itu tidak disebabkan karena ia yang tidak berkehendak untuk datang, melainkan ada sebuah pertimbangan demi kebaikan bersama. Pada perikop ini sudah jelas bahwa ada situasi-kondisi khusus yang sangat penting, entah pada diri Paulus maupun jemaat di Korintus itu sendiri yang mengakibatkan batalnya kedatangan Paulus ke Korintus. Namun, menurut Paulus hal tersebut bukanlah menjadi sebuah kegagalan atau kekerasan hatinya, melainkan sebagai bentuk kasih yang paling relevan ditengah situasi yang dialami oleh jemaat Korintus. Secara tegas Paulus mengatakan bahwa Ia tidak pernah menahan dirinya untuk hadir di tengah jemaat Korintus karena di dalam Kristus, ia tidak pernah menolak ke mana TUHAN mengutusnya. Paulus menekankan bahw keputusan ini bukan disebabkan oleh kekerasan hati atau kediktatoran dirinya, seperti yang tertulis pada ayat 24, “Bukan karena kami mau memerintahkan apa yang harus kamu percayai…sebaliknya kami mau turut bekerja untuk sukacitamu.”
Sahabat Alkitab, berdasarkan bacaan Alkitab pada hari ini kita mendapati sebuah pembelajaran tentang wujud kasih yang perlu diupayakan secara cermat. Sebagai manusia yang penuh dengan pemikiran akan kepentingan diri sendiri, kita tidak terluput dari kemungkinan untuk melakukan segala sesuatunya demi kepuasan diri. Bahkan, di dalam sebuah perilaku kasih terhadap orang lain pun kita mungkin saja lebih mementingkan ego dan kepentingan diri sendiri. Itulah sebabnya, kita juga perlu mengevaluasi perilaku yang kita berikan kepada orang lain yang selama ini kita sebut sebagai tindakan ‘mengasihi’. Hal ini dapat kita lakukan, entah sebagai orang tua, anak, saudara, sahabat, maupun umat di hadapan TUHAN.
Kita perlu bertanya, apakah tindakan kasih itu benar-benar mendatangkan damai bagi mereka yang menerimanya? Apakah tidakan kasih itu kita berikan dengan menempatkan posisi si penerima sebagai yang paling utama atau justru kita masih lebih mementingkan kepuasan kita sendiri? Apakah kita mengasihi untuk orang atau diri sendiri