Salah satu kondisi yang perlu dikritisi oleh umat TUHAN, secara khusus para kaum muda, adalah mengenai perkembangan pemikiran dan penilaian terkait perlu atau tidaknya percaya kepada TUHAN. Pandangan yang menganggap TUHAN sebagai sosok mitos pun sudah tidak menjadi sesuatu yang asing lagi ditemukan di tengah kebudayaan modern ini. Bahkan, tidak dari sedikit umat TUHAN itu sendiri yang mulai menganggap remeh perilaku ritus. Mulai muncul pandangan-pandangan yang mereduksi standar kelayakan untuk mengikuti ibadah atau malahan mulai menganggap ibadah rutin sebagai sesuatu yang tidak lagi terlalu diperlukan. Misalnya anggapan, “cukuplah 1 bulan 1 kali datang ke gereja. Kalua memang tidak sempat, yang penting kan kita tetap beriman.”
Pada perikop bacaan hari ini, kita pun perlu kembali merenungkan tentang sikap, cara pandang dan pemahaman kita terhadap segala bentuk ritus maupun bentuk beriman yang kita hasilkan dalam kehidupan sehari-hari. Catatan pada Imamat 16 merupakan panduan bagi Imam, dalam hal ini Harun, agar tidak sembarangan masuk ke dalam Tempat Kudus. Terdapat tata cara baginya setiap kali ia ingin masuk ke Tempat Kudus. Hal ini semakin diselaraskan dengan tujuan masuknya imam ke Tempat Kudus, yakni untuk melakukan perdamaian antara umat Israel yang penuh dengan keberdosaan dengan TUHAN yang mahakudus. Pada momen ini pula seluruh umat Israel mendapatkan penahiran dari segala dosa di hadapan TUHAN. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika proses tersebut perlu dilakukan dengan cara yang tidak sembarangan.
Segala perilaku yang tercantum dalam perikop ini pun tidaklah menjadi rangkaian peraturan formalistik. Justru, melalui setiap tata cara yang ada merupakan sedikit tampilan nyata dari kondisi iman mereka di hadapan TUHAN. Singkatnya, apabila tata cara proses perdamaian tersebut dilakukan dengan begitu sistematis dan terencana, maka bukankah semestinya hati dan iman setiap umat TUHAN juga dipersiapkan dengan begitu mapan demi mengalami penahiran dari dosa-dosa? Artinya, setiap perilaku yang kita tampilkan dalam kegiatan-kegiatan keberimanan yang nyata, misalnya beribadah, mestinya dihasilkan dari kualitas internal yang sepadan.