Tidak sedikit manusia beriman yang justru menempatkan Allah pada posisi objek atas setiap kehendaknya sendiri. Orang seperti ini cenderung menuntut Allah untuk bertindak sesuai dengan apa yang ia pikirkan dan pertimbangkan demi memenuhi keinginan serta tujuannya personal. Alih-alih memohon dan menganggap Allah sebagai Yang Tak Terselami dan Tak Terlampaui, manusia yang bersikap demikian justru hanya menganggap Allah sebatas cara untuk memenuhi keinginan dirinya. Tentu saja, hal demikian tidaklah dapat dibiarkan menjadi bagian dari karakter seorang umat yang mengaku percaya kepada Allah.
Paulus, melalui tulisan ini, juga mengingatkan jemaat mengenai kemahakuasaan Allah yang tak dapat dibatasi oleh apa pun, termasuk oleh pemahaman iman maupun keinginan manusia itu sendiri. Ia menuliskan, “Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?” Pernyataan ini memang digunakan untuk mempertegas pesan pengajaran Paulus mengenai keselamatan yang juga berlaku bagi orang-orang di luar tradisi iman keyahudian. Dengan kata lain, Paulus ingin mengingatkan jemaat yang masih membangun ‘tembok-tembok’ pemisah melalui pemahaman-pemahaman yang mendiskreditkan para umat yang tidak beralaskan tradisi keyahudian. Intinya, Paulus ingin umat menyadari bahwa kemahakuasaan Allah dapat terjadi melampaui segala pemikiran dan pertimbangan yang dapat manusia lakukan, bahkan dengan cara yang tidak manusia inginkan.
Sahabat Alkitab, tulisan Paulus ini dapat kita maknai dengan merefleksikan dua nilai, yakni: Pertama, kita perlu mengendalikan diri dengan segala keinginan yang ada agar tidak memosisikan Allah sebagai objek pemenuhan tujuan dan pertimbangan diri sendiri. Kedua, kita perlu membuka diri untuk melihat dan memahami rancangan Allah, meskipun hal tersebut terjadi melalui cara yang tidak kita duga atau pun melalui cara-cara yang tidak kita inginkan. Kiranya kita dapat bertumbuh menjadi umat yang penuh kerendahan hati dan terus meyadari bahwa Allah bekerja dalam kemahakuasaan-Nya.