Topik mengenai persembahan dalam praktik kehidupan beriman umat Allah memanglah sangat menarik. Banyak pemahaman yang dibangun sebagai landasan praktik pemberian persembahan kepada Allah. Pada umumnya, hal yang diberikan sebagai persembahan adalah dapat bentuk materi, misalnya uang sebagai alat tukar dengan nilai ekonomis yang diakui oleh sistem hidup bersama. Tentu saja, memberikan persembahan dalam rupa uang tidaklah salah. Namun, apakah nilai persembahan hanya terperangkap dalam bentuk uang? Kemudian, apakah nilai dari persembahan juga ditentukan oleh nominal uang yang diberikan?
Paulus, melalui tulisan ini pun memberikan pengajaran yang sangat konseptual sekaligus pragmatis kepada umat Allah. Paulus menganjurkan agar umat memberikan tubuh sebagai persembahan yang sejati kepada Allah. Tentu saja, mempersembahkan tubuh dalam teks ini tidaklah dalam artian yang sadis, melainkan secara konsep menjadikan tubuh sebagai simbol keutuhan diri yang bersedia memberikan seluruh hidupnya bagi Allah. Artinya, umat Allah idealnya memberikan seluruh hidupnya kepada Allah sebagai persembahan yang asli, bukannya sibuk memusatkan perhatian dengan mementingkan nominal atau nilai ekonomis dari persembahan.
Apabila kita menilik teks Alkitab dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, maka kita pun dapat menemukan beragam bentuk praktik pemberian persembahan yang telah menjadi bagian nyata dari kehidupan para umat Allah sejak permulaannya. Namun, kita juga tidak dapat melupakan bahwa Allah pernah memberikan kritikan yang begitu keras kepada umat Israel yang telah kehilangan pemaknaan atas praktik persembahan. Mereka telah terperangkap dalam formalitas tindakan dan telah kehilangan wujud ideal dari persembahan yang semestinya hadir melalui kehidupan mereka sebagai umat Allah. Itulah sebabnya, Paulus juga memberikan penegasan bahwa hidup yang dipersembahkan untuk Allah terjadi ketika kita mampu menjalani kehidupan dengan kualitas yang berkenan kepada Allah.