Bacaan permenungan firman Tuhan pada hari ini telah menampilkan dua sikap terkait situasi perubahan, secara khusus mengenai pengajaran Paulus untuk menerima orang-orang berlatar belakang non-Yahudi menjadi bagian dari komunitas yang sama dengan mereka yang memiliki latar belakang Yahudi. Kita pun perlu mengingat bahwa hal semacam ini sangatlah menjadi isu besar pada masa itu. Sikap pertama, muncul dari para pemimpin jemaat berlatar belakang Yahudi di Yerusalem yang memberikan ruang bagi kehadiran para anggota jemaat yang tidak memiliki latar belakang Yahudi. Mereka tidak memaksa jemaat berlatar belakang non-Yahudi untuk mengikuti seluruh aturan maupun tradisi ke-Yahudi, misalnya melakukan sunat. Meski demikian, mereka juga tetap memberikan batasan-batasan yang juga dilakukan oleh jemaat berlatar belakang Yahudi. Keputusan semacam ini pula lah yang menjadi ciri yang sangat khas dengan kehidupan jemaat Kristen perdana. Namun, sikap kedua justru menampilkan penolakan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi lainnya yang datang dari wilayah Asia. Mereka mengincar Paulus yang dianggap telah menciderai pengajaran Yahudi dan hukum Taurat. Mereka tidak bersedia untuk menerima dinamika situasi yang menuntut adanya perubahan, entah karena kebebalan hati untuk menerima perbedaan dan perubahan itu sendiri maupun akibat ketidakpahaman mereka untuk merespons situasi yang baru.
Sahabat Alkitab, pada hari ini kita diajak untuk melihat dua respons terhadap perubahan yang sangat jauh berbeda. Memang, konflik yang muncul dalam bacaan ini pun sangatlah kompleks karena berisikan dimensi dogma, tradisi, dan isu sosial yang perlu mendapatkan penelusuran jauh lebih mendalam. Namun, kehadiran dua sikap untuk menghadapi perubahan atau kehadiran kenyataan yang baru juga dapat kita gunakan sebagai bahan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi dinamika proses kehidupan. Ada kalanya ketidaksiapan seseorang dalam menghadapi perubahan justru menjadi penghambat bagi dirinya untuk berproses secara efektif di tengah dinamika tersebut. Alhasil, ia pun memilih untuk menolak situasi tersebut atau membiarkan dirinya kalah di tengah perubahan. Padahal setiap manusia perlu menghadapi perubahan sebagai bentuk perkembangan dirinya secara karakter, mental, pola pikir dan iman. Sikap penerimaan dari pemimpin jemaat di Yerusalem pun telah menjadi bukti bahwa iman yang berproses menghadapi perubahan justru menjadi ruang bagi terbentuknya sikap yang kondusif dan kehidupan komunal yang sehat bagi setiap individu di dalamnya. Namun, sebaliknya ketidaksiapan untuk menerima perubahan dan keengganan untuk memahami hal baru justru menghasilkan penolakan serta konflik.