Setiap bangunan yang baik tentu memiliki dasar atau fondasi yang kuat. Tanpa pondasi yang kokoh, bangunan itu pun tidak akan memberikan kualitas dan keamanan yang tinggi untuk penghuninya. Itulah mengapa, tahap perancangan fondasi bangunan sangat penting untuk memulai seluruh proses pembangunannya. Selain itu, pembuatan pondasi bangunan yang kuat juga berdampak pada efektivitas dan efisiensi perkembangan bangunan itu sendiri di masa mendatang.
Penglihatan yang didapatkan oleh nabi Zakharia juga menampilkan sebuah simbol atas dasar pembangunan hidup bangsa Israel. Lebih dalam lagi, pesan propetis ini sekaligus telah mengingatkan bangsa Israel yang sedang bergumul dalam masa pembuangan bahwa fondasi hidup mereka yang sesungguhnya adalah Tuhan. Sayangnya, selama ini mereka berusaha menggantikan fondasi itu dengan beragam hal yang sangat tidak esensial serta membawa mara kepada diri mereka sendiri. Oleh sebab itu, melalui simbol kandil dan bokor emas sebagai benda-benda yang biasa ada dalam Bait Suci merupakan cara Tuhan untuk mengembalikan rasa dan ikatan mereka untuk memandang Sang Fondasi Kehidupan yang sesungguhnya. Tuhan ingin menghadirkan transformasi besar-besaran atas hidup mereka, namun sebelumnya mereka pun perlu menyadari bahwa fondasi perubahan itu hanyalah Tuhan. Seperti pelita pada bokor yang terus menyala dan minyak yang tersedia untuk menjaga api tersebut, begitu pula mereka perlu menjaga ikatan iman terhadap Tuhan, Sang Pondasi.
Sahabat Alkitab, dasar pembaharuan yang sebenarnya pada hidup seorang umat Tuhan adalah keberadaan Tuhan itu sendiri di dalam dirinya. Tanpa keberadaan Tuhan atau dapat juga disebutkan tanpa keterbukaan diri untuk menerima keberadaan Tuhan di dalam dirinya, seseorang tidak akan mungkin mengalami pembaharuan hidup yang sejati. Keberadaan Tuhan adalah dasar sekaligus sumber dari timbulnya segala transformasi yang esensial dalam hidup seorang umat Tuhan. Itulah mengapa, renungan firman pada hari ini juga perlu kita jadikan sebagai cermin untuk bertanya pada diri sendiri yakni, “apakah saya sudah membuka diri sepenuhnya untuk menerima keberadaan Tuhan atau jangan-jangan diri saya masih terlalu dipenuhi oleh sifat ‘ke-aku-an’ yang terlalu tinggi?”