Manusia memang cepat melupakan sesuatu yang tidak lagi menarik perhatiannya atau segala hal yang ia anggap sudah tidak lagi penting maupun menguntungkan bagi dirinya. Terlebih lagi, segala hal yang terjadi sebagai kebiasaan atau sudah menjadi rutinitas pun cenderung mengalami degradasi makna atau nilai bagi si pribadi yang mengalaminya. Itulah mengapa, terjebak dalam rutinitas dapat membawa hal buruk yang perlu dikritisi agar seseorang dapat terus mengalami pertumbuhan di tengah pengalaman-pengalaman yang ia lakukan secara rutin. Hal ini dapat berlaku di segala aspek kehidupan kita, entah itu pendidikan, pekerjaan maupun lingkup beriman seperti ibadah.
Orang Israel pun sedang mengalami persoalan terkait mengelola diri di tengah hal rutin yang mereka alami. Secara lebih spesifik, permasalahan utama mereka adalah rasa syukur yang berangsur berkurang seiring dengan rutinitas mereka mengkonsumsi manna, sebuah bahan baku makanan yang diberikan oleh Tuhan, untuk kemudian diolah sebagai roti. Mereka melupakan nilai dari kehadiran manna sebagai respons dari Tuhan atas segala sungut-sungut perihal kelaparan yang pernah sampaikan melalui Musa (bdk. Kel. 11).
Keenam ayat ini semestinya cukup untuk menjadi pengingat bagi kita bahwa manusia memang sangat mudah untuk menuntut dan cenderung sulit mempertahankan rasa syukur. Kita pun perlu berhati-hati terkait hal ini agar tidak justru menjadi umat yang gemar bersungut-sungut, seperti nilai permenungan yang telah kita maknai kemarin. Sekarang, kita kembali dibekali dengan satu unsur yang diperlukan agar tidak menjadi umat yang mudah bersungut-sungut, yakni dengan mensyukuri segala hal yang ada di dalam kehidupan kita sebagai cara untuk terus mengingat peran Tuhan yang selalu kita nikmati. Kita pun perlu memahami bahwa bersyukur merupakan aksi respons dari umat kepada Tuhan yang perlu terus dilatih melalui konsistensi di dalam ingatan yang selalu terpaut kepada Tuhan dengan segala inisiatif kasih-Nya.