Secara naluriah tidak ada manusia yang mengharapkan penderitaan. Namun ada kalanya di dalam hidup ini penderitaan datang menghampiri kita. Bertahan dan menang dari penderitaan memerlukan sebuah pemaknaan khusus akan penderitaan tersebut dalam refleksinya dengan keberadaan Tuhan yang membimbing dan menyertai kita. Hal itulah yang coba kita gali melalui mazmur hari ini.
Setelah mengenang masa lalu yang penuh kemenangan di ayat 1-9, kini pemazmur kembali pada kenyataan yang dialami saat ini. Mereka terhimpit musuh dan mengalami penderitaan yang bertubi-tubi. Ada perasaan dan prasangka bahwa Allah telah menjauh dan perlahan meninggalkan mereka. Perasaan bahwa mereka berada jauh dari Allah, membuat pemazmur bersama umat kehilangan kekuatan. Kekalahan harus dihadapi sendiri tanpa Allah, hingga membuat mereka tercerai-berai. Kekalahan ini menimbulkan ejekan dan penghinaan yang menyesakkan dari bangsa-bangsa lain, menyisakan rasa malu yang teramat dalam. Menariknya, pemazmur tidak merasa bahwa apa yang dialami adalah sebuah hukuman dari Tuhan. Di tengah nestapa tersebut, meski terus mempertanyakan keberadaan-Nya, ia tetap mempertahankan iman dan kesetiaannya pada janji Tuhan.
Sahabat Alkitab, kadang-kadang, derita mengajarkan kita pelajaran yang tidak bisa dipelajari melalui waktu-waktu nyaman. Mencari makna di balik derita bisa berarti merenungkan bagaimana pengalaman tersebut membentuk kita, mengajarkan tentang diri kita, dan mendekatkan kita kepada Tuhan. Meskipun secara manusiawi kita mungkin merasa terabaikan atau tidak dimengerti oleh Tuhan dalam saat-saat penderitaan, tetapi sesungguhnya tetap ada ruang untuk mencari dan menemukan makna dari penderitaan yang kita alami melalui iman, doa, dan refleksi. Pada akhirnya kita mendapatkan kekuatan dari-Nya untuk terus berjuang menjalani kehidupan.