Satu hal yang dapat kita pelajari dalam dunia ini adalah hidup bersama dengan Tuhan bukan berarti kehidupan yang tanpa tantangan serta masalah. Iman kepada Tuhan adalah sebuah keyakinan bahwa dalam segala situasi Tuhan senantiasa menyertai baik itu dalam suka maupun duka, bahkan dalam penderitaan yang membebani sekalipun. Setidaknya satu hal inilah yang dapat kita petik dari pendapat Elihu pada teks yang kita baca.
Elihu menuduh Ayub seolah-olah telah melampaui batas, ia juga menyampaikan bahwa keheningan Allah bukanlah bukti ketidakpedulian-Nya. Justru, menurut Elihu, Allah berulang kali berbicara—melalui mimpi, melalui rasa gelisah dalam tidur, bahkan lewat penderitaan fisik (ayat 14–19). Dalam pandangan Elihu, Tuhan mengungkapkan maksud-Nya dengan cara yang tidak selalu bisa langsung dimengerti, tetapi tidak pernah tanpa tujuan. Ia menggambarkan betapa Allah bisa menegur manusia secara halus dalam tidur, lewat mimpi dan penglihatan malam (ayat 15–16). Tujuannya? Untuk menyelamatkan manusia dari liang kubur (ayat 18). Dalam kebudayaan kuno, liang kubur atau Pit bukan sekadar lubang gelap, tetapi perlambang kematian atau ‘Sheol’—tempat sunyi yang mengerikan, jauh dari terang kehidupan.
Lebih lanjut, Elihu juga menyinggung penderitaan fisik sebagai bentuk peringatan ilahi, ketika seseorang sakit parah, kehilangan selera makan, dan tubuhnya merana (ayat 19–21), itu bisa menjadi bentuk “gugatan” Tuhan atas hidup manusia. Bukan untuk menghukum secara semena-mena, tetapi sebagai sarana pertobatan. Seolah tubuh itu sendiri menjadi tempat pengadilan ilahi, bukan ruang sidang di kota atau di surga. Bahkan ketika penderitaan mendekatkan seseorang kepada maut, Elihu menyiratkan bahwa itu belum akhir—karena Allah masih bisa turun tangan.
Elihu memang tidak sempurna dalam menyelami kedalaman batin Ayub, dan ia pun belum sepenuhnya memahami misteri penderitaan manusia. Namun, dalam kata-katanya kita dapat menangkap satu pesan yang penting, bahwa dalam penderitaan, Allah tidak membisu—Dia berbicara, meski dalam bahasa yang tidak selalu mudah dipahami.
Sahabat Alkitab, dalam dunia yang sibuk dan bising, penderitaan bisa menjadi panggung keheningan yang justru membuat suara Tuhan terdengar lebih jernih. Kita diajak untuk tidak sekadar bertanya “Mengapa ini terjadi padaku?” tetapi berani bertanya “Apa yang sedang Tuhan katakan dalam semua ini?”. Karena dalam hidup ini, penderitaan bukan hanya realita, tapi juga ruang dialog—di mana Allah datang sebagai Sahabat Ilahi yang memanggil kita kembali kepada-Nya, sebelum kita jatuh terlalu dalam.