Memahami dengan Kerendahan Hati

Renungan Harian | 28 Mei 2025

Memahami dengan Kerendahan Hati

Hidup beriman seseorang adalah sebuah dinamika yang khas dan unik. Saat setiap pribadi memiliki pengalaman kehidupan yang berbeda-beda maka pengalaman relasi imaniah dengan Allah juga turut berkembang. Keberagaman dan dinamika relasi inilah yang harus kita hormati. Sebagai sesama orang beriman maka yang menjadi panggilan kita adalah menjadi rekan untuk bertumbuh dalam iman. Pada teks hari ini kita melihat Elihu yang memulai pendapatnya dengan baik, sayangnya dalam motivasi yang kurang tepat. 


Elihu memulai dengan kata-kata yang menggugah, “Akan tetapi, hai Ayub, dengarkanlah kata-kataku, dan pasanglah telingamu kepada semua perkataanku” (Ayub 33:1). Ini bukan sekadar permintaan untuk didengarkan, tetapi undangan untuk berdialog dalam kejujuran. Elihu ingin menyampaikan sesuatu yang tidak didasari oleh kemarahan atau kebanggaan pribadi, melainkan berasal dari keikhlasan hati dan kesadaran bahwa perkataannya diilhami oleh Roh Allah (ayat 3–4). Menariknya, Elihu tidak datang dengan semangat superioritas. Ia tidak memperlihatkan dirinya sebagai orang yang lebih bijak atau lebih suci dari Ayub. Justru ia berkata, “Sesungguhnya, bagi Allah aku sama dengan engkau, aku pun dibentuk dari tanah liat.” (ayat 6). Pernyataan ini penting. Ia menempatkan dirinya sejajar dengan Ayub—sama-sama manusia, sama-sama rapuh, dan sama-sama ciptaan Tuhan. Ia tidak hendak menakut-nakuti atau menekan (ayat 7), melainkan hadir sebagai seorang sahabat yang mencoba menjadi jembatan antara keadilan Allah dan pergumulan manusia.


Namun, Elihu juga tidak menahan diri untuk menanggapi klaim Ayub yang merasa dirinya bersih dari kesalahan. Ia mengutip Ayub yang berkata: “Aku bersih, tanpa melakukan pelanggaran, aku suci, tanpa kesalahan.”(ayat 9). Baginya, pernyataan itu—meski keluar dari hati yang terluka dan penuh pertanyaan—tetap perlu diuji dan ditimbang. Dalam hal ini, Elihu memperlihatkan kerinduan untuk menjaga kebenaran, namun juga menyiratkan bahwa ia belum sepenuhnya memahami relasi personal Ayub dengan Allah. Dari sini kita belajar bahwa menjaga integritas dan kebenaran memang penting, tetapi kerendahan hati dan empati tidak boleh ditinggalkan. Berbicara demi kebenaran bukan berarti menghakimi dengan dingin. Mendengarkan bukan berarti menyetujui semua, tetapi membuka ruang untuk memahami.


Sahabat Alkitab, hidup tidak selalu memberikan jawaban yang terang dan tegas. Kadang, dalam gelapnya penderitaan, justru muncul cahaya dari suara yang tulus. Oleh karena itu, marilah kita merenungkan kembali, apakah kita sudah menjadi pendengar yang baik bagi teman atau keluarga kita yang sedang dalam pergumulan? Ingatlah untuk tidak terburu-buru memberi jawaban atas kondisi yang dialaminya. Beranilah hadir dengan kerendahan hati, telinga yang terbuka, dan kata-kata yang membawa pengharapan. Sebab di tengah gelapnya penderitaan, satu suara yang tulus bisa menjadi sinar yang memulihkan.

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia