Bagi individu yang tidak dapat mengendalikan kebutuhan atas ‘pengakuan’ sangat besar kemungkinan ia akan tampil menjadi orang yang ‘gila hormat’ maupun congkak. Hal ini pun dapat semakin parah jika ia benar-benar melakukan tindakan yang berdampak besar bagi kehidupan orang banyak. Hampir dapat dipastikan, ia akan menampilkan kehadirannya dan ‘menuntut’ pengakuan dari orang banyak yang ia anggap telah mendapatkan dampak dari perbuatannya tersebut. Persoalannya, sikap yang demikian justru dapat membuat orang lain menjadi tidak nyaman dengan keberadaannya hingga bisa saja memicu penolakan terhadap dirinya sendiri. Itulah mengapa, sebuah jasa perlu diimbangi dengan kerendahan hati demi menghasilkan dampak yang efektif.
Kerendahan hati dalam memberikan jasa juga muncul dalam diri rasul Paulus. Pada ayat 7 ia menuliskan, ‘harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat,’. Tentu saja, harta yang ia maksud merujuk pada pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang sebelumnya tertulis pada ayat 6. Kemudian, ‘bejana tanah liat’ yang ia maksud merupakan simbol atas kerendahan hati di hadapan TUHAN, bahwa ia adalah manusia yang dibentuk dan ada dalam rancangan kuasa TUHAN. Penggunaan bejana tanah liat pun bukan sesuatu yang asing dalam kegiatan pengajaran iman. Di dalam teks Perjanjian Lama kita dapat menemukan sejumlah tokoh yang menggunakan ‘tanah liat’ sebagai simbol kesadaran dan kerendahan hati di hadapan TUHAN, misalnya seperti diungkapkan oleh Ayub, Yesaya dan Yeremia. Paulus pun melakukan hal serupa dalam pengajaran yang ia berikan kepada jemaat di Korintus yang menunjukkan bahwa kerendahan hati dalam melayani merupakan hal penting yang perlu dimiliki, bukan hanya oleh dirinya sebagai guru jemaat tetapi juga oleh setiap umat TUHAN.
Kerendahan hati dalam beriman akan menolong setiap umat TUHAN untuk menghadapi berbagai kenyataan hidup yang seringkali melukai perasaan maupun mengusik kenyamanan diri. Itulah mengapa, Paulus juga menyertakan konsep ‘mati bersama Kristus’ dan ‘bangkit bersama Kristus’ di dalam ayat 10. Hal ini untuk menunjukkan bahwa hidup beriman kepada Kristus berarti bersedia menerima kenyataan pahit seperti bersedia menerima kenyataan manis dalam jalannya kehidupan. Seseorang yang beriman dengan rendah hati, tidak lagi menghitung ‘pengakuan’ atas setiap karya yang ia kerjakan di dalam TUHAN. Bagi dirinya, iman yang hidup berarti tetap berdampak secara nyata, entah diakui maupun tidak dianggap oleh orang lain yang menerimanya. Inilah bentuk penolakan diri yang begitu sulit dilakukan, apalagi bagi orang yang tidak mampu mengendalikan kebutuhan atas ‘pengakuan’ dari orang lain.