Di dalam kehidupan beragama, kehadiran para pemimpin umat memiliki peran yang tidak dapat dianggap rendah. Hal ini juga berlaku dalam kehidupan umat Kristen dari berbagai tradisi. Persoalannya dapat muncul ketika para individu yang berperan sebagai pemimpin umat tidak dapat membuktikan integritas keimanannya di tengah hidup berjemaat dan keseharian. Maksudnya, ia tidak dapat meng-amin-kan segala pesan dan pengajaran atas firman TUHAN yang ia berikan kepada umat atau lebih parahnya, ia sendiri yang mengkhianati nilai firman TUHAN tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka hampir dapat dipastikan kondisi iman para umat yang ia pimpin pun akan ikut terguncang.
Rasul Paulus, melalui ayat 1-6 dalam pasal ini, sedang memberikan penekanan tentang keutuhan sikap hidupnya dengan segala pesan pengajaran injil yang ia berikan kepada umat TUHAN, secara khusus di kota Korintus. Ia menegaskan bahwa tidak ada intensitas yang manipulatif pada dirinya terhadap jemaat, sehingga segala pengajaran ia berikan dalam ketulusan dan kejujuran. Hal inilah yang membuatnya tetap teguh dalam melakukan pelayanan, meski ada banyak pihak yang berusaha menyingkirkan Paulus dari tengah komunitas jemaat di Korintus.
Pesan Paulus ini merupakan sebuah pernyataan iman yang penuh integritas, komitmen dan berpengharapan dalam melakukan pelayanan di hadapan TUHAN. Apabila kita mempertimbangkan pengalaman konflik yang Paulus dapatkan di Korintus, maka sangat wajar bagi dirinya untuk merasa ditolak, dikhianati, direndahkan, dan kecewa. Namun, itu semua tidaklah menghentikan Paulus memberikan pelayanan kepada jemaat di sana. Justru, ia menjadi lebih persisten memberikan pengajaran bagi mereka.
Sahabat Alkitab, teladan sikap beriman Paulus yang tampil dari keenam ayat ini tidak hanya berlaku bagi diri seorang pemimpin umat, melainkan juga bagi seluruh individu yang mengaku percaya kepada TUHAN. Sesungguhnya, setiap orang perlu memiliki ketulusan dan kejujuran dalam menghidupi keimanannya agar menghasilkan integritas, komitmen dan berpengharapan.