Pada perikop hari ini, Elihu menghadirkan suatu gambaran penuh harapan di tengah penderitaan. Ia berkata bahwa jika ada “malaikat, satu diantara seribu, sebagai perantara,” maka masih ada jalan keluar bagi si penderita. Tokoh ini digambarkan sebagai melîṣ—seorang pembela atau advokat surgawi—yang berdiri di hadapan sidang surgawi, membela manusia yang tertuduh, dan menyampaikan bahwa telah tersedia uang “tebusan” (ayat 24).
Gambaran ini sangat kuat. Dalam sistem keadilan surgawi yang digambarkan Elihu, ada seorang yang menyuarakan pembelaan, bukan penghukuman. Ia menjadi seperti pengacara surgawi yang menyatakan, “Lepaskan dia, supaya jangan ia turun ke liang kubur; uang tebusan telah Kuperoleh.” Ini adalah nada anugerah, bukan penghukuman. Dan di sinilah Elihu mengangkat kembali kerinduan terdalam Ayub—yaitu adanya seorang perantara antara manusia dan Allah (lih. Ayub 9:33; 16:19–21; 19:25–27). Tebusan ini tidak dijelaskan secara rinci—apakah berupa kebaikan masa lalu orang itu, pertobatannya, atau kasih karunia dari surga. Namun yang pasti, hasilnya sangat jelas: tubuh yang sakit menjadi pulih (ayat 25), hubungan dengan Allah dipulihkan (ayat 26), dan yang lebih penting, orang itu akhirnya mengakui dosanya dengan jujur (ayat 27–28), lalu menyaksikan terang kehidupan kembali.
Elihu menunjukkan bahwa penderitaan bukan selalu bentuk hukuman mutlak dari Allah, melainkan bisa menjadi panggilan kasih yang mengarah pada pertobatan dan pemulihan. Ia menekankan bahwa Allah berulang-ulang menyatakan diri kepada manusia “mengembalikan nyawanya dari liang kubur, sehingga ia diterangi oleh cahaya hidup.” (ayat 30).
Sahabat Alkitab, renungan ini membawa kita pada dua pesan penting. Pertama, jangan kehilangan harapan saat hidup terasa gelap. Dalam penderitaan, bisa jadi Allah sedang mengundang kita untuk mendengar suara-Nya dan membuka hati kita bagi pemulihan yang lebih dalam. Ingatlah bahwa Tuhan tidak pernah bermaksud membinasakan kita, melainkan memulihkan. Kedua, terbukalah untuk pertobatan dan pengakuan yang jujur. Kesembuhan sejati juga terjadi ketika hati yang keras dilembutkan dan dosa diakui. Dalam pengakuan itulah kita mulai melihat terang kehidupan kembali—terang yang berasal dari wajah Allah yang menerima dan memberkati.
Mari kita belajar untuk tidak menghakimi penderitaan sebagai hukuman, tetapi sebagai kesempatan bertemu dengan kasih karunia Allah. Kiranya kita senantiasa peka mendengar suara-Nya, dan bila perlu, menjadi “suara terang” itu bagi sesama yang sedang terbenam dalam penderitaan. Karena seperti ada satu dari seribu di surga yang membela kita, kita pun dapat menjadi satu dari banyak suara di dunia yang membawa harapan.