Dalam hidup ini, kita sering berdiri di dua sisi yang saling bertolak belakang: sebagai korban yang menuntut keadilan, dan sebagai hakim yang menilai siapa yang bersalah. Namun, apa yang terjadi ketika manusia mencoba “mengadili Tuhan”? Apa dasar kita mempersoalkan kebijaksanaan-Nya, apalagi ketika hidup terasa tidak adil?
Filsuf Yunani kuno, Socrates, pernah berkata bahwa “kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa kita tidak tahu.” Tetapi dalam penderitaan, kebijaksanaan ini sering runtuh. Kita merasa cukup tahu untuk menuduh Tuhan salah, atau paling tidak, lalai. Dalam perikop Ayub 34:1–15, Elihu tampil bukan sekadar sebagai penengah, tetapi sebagai suara keras yang mengingatkan manusia akan batasnya—dan mengajukan pertanyaan menggelitik, “siapakah manusia hingga ia bisa menilai Sang Pencipta?”
Elihu membuka pernyataannya dengan mengundang “orang-orang berhikmat” dan yang mengetahui “apa yang adil” (ayat 2–4) untuk menilai perkara Ayub secara adil. Ia tidak ingin kesimpulan diambil atas dasar asumsi atau simpati semata, tetapi melalui prinsip keadilan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, Elihu menempatkan dirinya dalam posisi arbiter, dan bahkan menantang para pendengarnya untuk menentukan bersama-sama apa yang baik. Sebuah seruan kepada nalar dan discernment yang jernih.
Namun, segera setelah itu, Elihu mengutip klaim Ayub: “Aku benar, tetapi Allah mengambil hakku” (ayat 5). Dengan ini, Elihu menganggap Ayub telah melewati batas. Ia bukan hanya mempertanyakan keadilan Tuhan, tetapi menyiratkan bahwa Tuhan telah bertindak salah—bahkan sewenang-wenang. Bagi Elihu, ini adalah bentuk pembangkangan yang tidak bisa ditoleransi (ayat 7–9). Ia bahkan menuduh Ayub telah “mereguk hujatan seperti air” (ayat 7), suatu gambaran tajam tentang kedalaman protes Ayub yang dirasa sudah mendekati penghujatan.
Pusat argumen Elihu terletak pada ayat 12, bahwa “Sungguh, Allah tidak berlaku curang, Yang Maha Kuasa tidak membengkokkan keadilan”. Ini bukan hanya doktrin teologis, tetapi juga seruan eksistensial, jika Allah tidak adil, maka semesta runtuh. Tuhan adalah fondasi moral dari semesta. Bila Dia “menyelewengkan hukum,” maka kita hidup dalam dunia tanpa poros dan harapan.
Lebih lanjut lagi, dalam ayat 13–15, Elihu menekankan otoritas mutlak Tuhan atas hidup dan mati. Jika Tuhan memutuskan untuk menarik napas-Nya dari umat manusia, maka semua akan kembali menjadi debu. Manusia bukan penentu hidupnya sendiri. Kita hidup karena anugerah-Nya. Oleh karena itu, mempertanyakan keadilan Tuhan tanpa kesadaran akan posisi kita hanyalah kesombongan teologis yang membutakan hati.
Kiranya kita dapat memandang perikop ini, bukan sebagai ajakan untuk membungkam penderitaan atau menghapus pertanyaan yang lahir dari luka. Mengingat sepanjang narasi yang telah kita baca, Ayub menunjukkan bahwa selalu ada ruang bagi ratapan dan pergulatan iman. Namun, melalui suara Elihu, kita diingatkan bahwa berdialog dengan Tuhan tidak sama dengan mengadili-Nya. Ada garis tipis antara mengeluh kepada Tuhan dan menuntut Tuhan tunduk pada logika kita. Di tengah dunia yang penuh ketidakadilan dan penderitaan, terkadang kita tergoda untuk menjadi hakim atas keputusan-keputusan Allah. Maka, Elihu mengajak kita kembali menunduk, bukan dengan buta, melainkan dengan kesadaran bahwa hikmat sejati tidak menghapus pertanyaan, melainkan menempatkan kita pada posisi rendah hati di hadapan Dia yang Maha Tahu.