Bayangkan sebuah medan perang kuno. Di antara debu yang mengepul dan suara terompet yang menggema, seekor kuda perang meringkik nyaring. Matanya penuh gairah, kakinya menghentak tanah, dan dia tidak gentar menghadapi deru pedang. Di tempat lain, jauh di puncak tebing curam, seekor elang mengembangkan sayapnya. Ia menembus langit dengan presisi dan kekuatan, mencari mangsa dengan tatapan tajam dari kejauhan. Kedua makhluk ini memancarkan kemegahan dan misteri yang membungkam mulut manusia.
Dalam Ayub 39:22–30, Allah melanjutkan ‘pidato-Nya’ kepada Ayub dengan menunjuk pada dua makhluk yang luar biasa, kuda perang dan burung pemangsa. Di hadapan ciptaan yang begitu gagah, Allah mengajukan pertanyaan, “Engkaukah yang memberi tenaga pada kuda? Oleh pengertianmukah burung elang terbang, mengembangkan sayapnya menuju ke selatan?” Kuda yang dijelaskan bukan sekadar binatang, ia adalah lambang kekuatan, keberanian, dan semangat juang yang tak tergoyahkan oleh rasa takut. Bahkan, kuda ini tidak hanya tidak gentar terhadap pedang, tetapi seolah makin bergairah saat mendengar bunyi perang (ayat 23–25). Gambaran ini menjadi simbol dari theophanic splendor, pancaran keagungan ilahi yang menggetarkan.
Ayub yang sedang diliputi ketakutan tak akan mampu mengendalikan ciptaan yang tidak takut itu. Maka, bagaimana ia berharap bisa mengendalikan “kengerian” (אֵ֥מָתְךָ֗—emah) Allah (lih. Ayub 13:21)? Lalu Allah melanjutkan pengajaran-Nya melalui gambaran kehidupan burung-burung pemangsa. Elang dengan daya terbangnya yang tinggi dan sarangnya yang tersembunyi di tebing, digambarkan hidup dengan kebijaksanaan. Ketajaman matanya mampu melihat mangsa dari kejauhan dan memberi makan anak-anaknya. Disini Tuhan tampak terpesona oleh ciptaan-Nya, Ia menceritakan keberanian kuda dan elang dengan kekaguman. Bukankah ini menyiratkan bahwa segala sesuatu yang Ia ciptakan memiliki nilai, makna, dan keindahan yang patut direnungkan?
Sahabat Alkitab, kita sering merasa gelisah menghadapi masa depan, atau tidak memahami mengapa hidup berjalan seperti sekarang. Sebagaimana Tuhan yang datang kepada Ayub, bukan dengan penjelasan tetapi dengan pernyataan tentang diri-Nya, dengan kehadiran-Nya, dan ternyata itu lebih dari cukup. Demikianlah hidup kita, yang bergerak dalam irama kebijaksanaan Allah. Oleh karena itu, marilah kita hidup dengan takjub, bukan dengan tuntutan. Serahkan kekhawatiranmu pada Allah yang lebih besar dari badai, lebih tinggi dari elang, dan lebih kuat dari kuda. Ingatlah bahwa Tuhan tidak hanya berkuasa atas ciptaan, tetapi Ia juga mengagumi dan menghargai ciptaan-Nya. Dalam pandangan-Nya, ciptaan bukan sekadar hasil karya, tapi pancaran keindahan dan karakter-Nya.