Setiap orang pernah berada pada “ruang liminal”, sebuah batas antara yang lama dan yang baru, antara rasa hancur dan harapan, antara kehilangan dan pemulihan. Dalam situasi itu, kita merasa berada di pinggir, jauh dari pusat makna hidup. Mazmur 61 mengekspresikan pengalaman ini dengan seruan dari “ujung bumi”, sebuah metafora keterasingan, baik secara historis (pembuangan, diaspora) maupun eksistensial (jauh dari Allah)
Di dalam ratapan itu, pemazmur mengarahkan diri kepada Allah, “tuntunlah aku ke gunung batu yang menjulang tinggi di atasku”. Seruan ini mengandung sebuah paradoks, di saat hati hampir menyerah, lahirlah doa yang paling murni. Simbol-simbol yang dipakai oleh pemazmur, seperti: gunung batu, menara, kemah, sayap, menjadi tanda bahwa Allah adalah pusat perlindungan, yang sanggup menarik manusia dari ‘pinggir’ menuju hadirat-Nya. Inilah dinamika kehidupan beriman umat Israel, mereka mengenang karya Allah di masa lalu, kemudian dari memori itu lahirlah daya untuk berharap di masa kini. Menariknya, mazmur ini tidak berhenti pada ruang personal. Doa bagi raja (ayat 7-8) memperlihatkan bahwa iman pribadi selalu terkait dengan harapan kolektif. Dalam sejarah Israel, doa itu mungkin diarahkan bagi dinasti Daud, atau di kemudian hari dibaca secara mesianis. Tetapi pesan utamanya tetap sama, hidup individu dan kehidupan berbangsa tidak dipisahkan. Keselamatan pribadi menemukan maknanya ketika berkelindan dengan kesejahteraan komunitas.
Sahabat Alkitab, bagi kita hari ini, ruang liminal yang dialami oleh pemazmur berupa berarti krisis mental, keterasingan sosial, atau kekecewaan terhadap politik dan kepemimpinan. Dalam bahasa psikologi momen ini disebut sebagai “ambang krisis,” di mana manusia dipaksa menyadari keterbatasannya. Namun secara teologis, justru di ruang itulah iman menemukan pijakannya, Allah hadir bukan hanya di pusat, melainkan juga di ‘pinggiran’. Ia menuntun kita kembali ke pusat kasih-Nya dan memberikan kekuatan untuk melangkah. Maka, marilah kita berani mengakui kerentanan diri, mencari pertolongan saat jiwa terasa lelah, dan setia menaruh harap kepada Allah di tengah ketidakpastian. Dengan demikian, ruang liminal bukan akhir, melainkan pintu menuju pemulihan dan pembaruan iman.