Ketika manusia semakin terikat pada layar digital, terhanyut dalam bisingnya kota, dan terjebak dalam ritme hidup yang kian cepat, kita sering lupa bahwa ada liturgi lain yang berlangsung di sekitar kita. Liturgi itu bukan berlangsung di dalam gedung megah dengan paduan suara dan organ, melainkan di ladang, di pegunungan, di gemericik sungai, dan dalam kesuburan tanah. Alam, dengan segala keheningan dan suaranya, sedang “beribadah.” Pemazmur mengajak kita menyadari hal ini, bahwa alam tidak pernah berhenti memuji Allah.
Mazmur 65 dibuka dengan nada pengakuan dan syukur, bahwa Allah adalah sumber pengampunan, tempat umat menemukan kembali kebahagiaan (ayat 1–5). Tidak berhenti pada relasi personal, pemazmur melanjutkan pengakuannya bahwa Allah yang sama adalah Penguasa kosmos, yang menegakkan gunung, meredakan deru lautan, dan kegemparan bangsa-bangsa (ayat 7-8). Ia beralih pada gambaran ekologis yang indah, menjadikan tanah subur, memperkayanya dengan hasil yang berlimpah, padang rumput berpakaian kawanan kambing domba, semuanya bersorak-sorai dan bernyanyi. Inilah “liturgi alam,” di mana ciptaan sendiri menjadi jemaat yang bernyanyi.
Ibadah bukan semata ritual manusia kepada Allah, tetapi kesadaran bahwa seluruh ciptaan sedang berada dalam dialog dengan Sang Pencipta. Martin Buber, seorang teolog sekaligus filsuf Yahudi terkenal dengan karyanya “I and Thou” menekankan bahwa inti hidup adalah relasi personal yang sejati. Dalam terang pemikirannya, relasi itu tidak hanya terjadi antara manusia dan Allah, tetapi juga mencakup bumi, gunung, sungai, dan segenap ciptaan yang ikut menyapa Allah dengan seruan “Engkau.” Dari sini, Mazmur 65 mengingatkan kita bahwa krisis lingkungan pada dasarnya bukan hanya masalah teknis atau ilmiah, melainkan juga ‘krisis liturgi’, kita lupa bahwa alam sedang beribadah, dan kitalah yang justru mengacaukan harmoni pujian tersebut.
Sahabat Alkitab, mazmur hari ini mengajak kita untuk menyadari bahwa ada liturgi agung di luar gedung ibadah, yaitu liturgi alam yang tak henti memuji Sang Pencipta. Ketika kita melihat hujan yang turun, tanah yang subur, dan gunung yang tegak, kita sedang menyaksikan nyanyian pujian kosmos. Pertanyaannya, apakah hidup kita turut selaras dengan nyanyian itu, atau justru kita membuat sumbang dengan merusak ciptaan? Marilah kita menata ulang cara kita beribadah, tidak hanya menyanyi dengan bibir, tetapi juga dengan cara hidup yang bersahabat dengan bumi. Karena memelihara alam berarti ikut menjaga harmoni liturgi kosmos, sebuah simfoni pujian yang ditujukan kepada Sang Pencipta.