Ada keindahan tersendiri dalam ibadah yang dipersiapkan dengan sungguh. Di setiap nada yang dimainkan oleh pengiring jemaat, di setiap tarikan napas sebelum umat mulai bernyanyi, tersimpan kerinduan untuk menghadirkan yang ilahi di tengah yang fana. Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa yang penting dalam ibadah hanyalah hati yang tulus, bukan kesempurnaan bunyi. Namun, bukankah hati yang benar-benar tulus justru akan menuntun tangan dan pikiran untuk memberi yang terbaik? Dalam ibadah, kesungguhan adalah bentuk kasih; bukan karena Allah menuntut keindahan estetika, melainkan karena keindahan itu sendiri adalah pantulan dari diri-Nya. Mazmur 98 menyingkapkan hal ini dengan begitu jelas: pemazmur memanggil umat untuk bernyanyi, bersorak, dan memainkan alat musik karena Tuhan telah bertindak menyelamatkan. Ibadah menjadi ruang di mana iman menemukan bentuknya, dan musik menjadi bahasa yang melampaui kata.
Mazmur ini bergerak seperti aliran nada dalam komposisi agung. Stanza pertama (ayat 1–3) menyuarakan alasan pujian, bahwa Allah telah bertindak, dan keselamatan-Nya nyata hingga ujung bumi. Di sini, musik iman berawal dari pengalaman akan kasih setia dan kebenaran Allah. Stanza kedua (ayat 4–6) memperluas lingkupnya, seluruh bumi diajak untuk bersorak dan memainkan alat musik. Pujian menjadi tindakan kolektif, semacam “liturgi bersama semesta”. Dan pada puncaknya (ayat 7–9), seluruh alam (laut, sungai, dan gunung) ikut bergema. Mazmur 98 bukan sekadar seruan untuk bernyanyi, tetapi sebuah visi kosmologis, bahwa seluruh ciptaan adalah orkestra yang menyuarakan kebesaran Pencipta. Hal ini mengingatkan kita pada pemikiran Pythagoras tentang harmonia mundi—bahwa setiap bagian semesta bergetar dalam keseimbangan yang mencerminkan sumber ilahi. Iman, dalam makna yang paling dalam, adalah kesediaan untuk ikut selaras dalam harmoni itu. Ketika musik gereja dimainkan dengan kasih dan kesungguhan, ia tidak berhenti di ruang ibadah, melainkan merambat ke semesta, menjadi gema dari kasih yang tak bertepi.
Namun, simfoni pujian ini berakhir bukan dalam kegirangan semata, melainkan dalam kesadaran yang mendalam, “Ia akan menghakimi dunia dalam keadilan, dan bangsa-bangsa dalam kejujuran”. Penghakiman, dalam pandangan modern, sering diartikan sebagai ancaman, tapi penghakiman Allah adalah penegasan positif atas kehendak Allah bagi dunia. Artinya, Allah menata ulang ketidakharmonisan agar tercipta kembali keseimbangan. Dalam bahasa musik, penghakiman seperti resolusi setelah disonansi—pemulihan harmoni yang rusak. Maka, ibadah sejati bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan latihan rohani untuk menyelaraskan diri dengan irama kasih dan keadilan Allah. Dari pengiring jemaat yang menyiapkan musiknya dengan cinta, hingga semesta yang bergetar dalam nyanyian tanpa kata, semua berada dalam satu komposisi ilahi yang sama. Di sanalah iman menemukan bentuk terdalamnya, yaitu menjadi nada kecil yang setia dalam simfoni besar Sang Pencipta.
























