Kerap kita mendengar anggapan bahwa lingkungan yang positif akan membentuk pribadi yang baik. Tak heran, banyak orang tua akan terlebih dahulu meneliti profil dan iklim belajar dari sebuah sekolah sebelum memutuskannya sebagai tempat belajar bagi anaknya. Hal ini dilakukan, karena mereka tahu, tempat tumbuh menentukan arah bertumbuh. Meski pandangan ini bisa menimbulkan pro dan kontra, pada dasarnya kita semua memahami satu hal, bahwa manusia memang dapat dipengaruhi oleh tempat ia berakar. Di mana kita tertanam, di sanalah kita menyerap makna, kekuatan, dan arah hidup.
Mazmur 92 adalah mazmur yang didedikasikan untuk Sabat—hari perhentian, hari untuk mengingat bahwa hidup manusia berakar pada Allah. Setelah pergumulan panjang yang digambarkan dalam mazmur-mazmur sebelumnya, mazmur ini menjadi lagu syukur atas pemulihan hubungan antara Allah dan umat-Nya. Strukturnya terbagi dalam tiga bagian: panggilan untuk memuji (ayat 1–5), kesaksian akan kemenangan Allah atas kejahatan (ayat 6–11), dan gambaran tentang kehidupan orang benar yang subur dalam persekutuan dengan Allah (ayat 12–1)6. Mazmur ini bukan sekadar nyanyian liturgis, tetapi sebuah pernyataan iman, bahwa kebaikan dan kasih setia Allah (חֶסֶד—hesed) adalah sumber kehidupan yang terus mengalir bagi mereka yang mau berakar dalam kehendak-Nya.
Pemazmur menggambarkan perbedaan tajam antara orang benar dan orang fasik. Orang fasik mungkin “bertunas seperti rerumputan” (ayat 8). Mereka tumbuh cepat, tapi dangkal dan sebentar. Sementara itu, orang benar “bertunas seperti pohon kurma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon” (ayat 13). Pohon kurma dikenal akan ketangguhannya hidup di gurun. Akarnya menghujam dalam mencari air, dan buahnya manis meski tumbuh di tanah gersang. Pohon aras, sebaliknya, menjulang kuat dan tak mudah goyah. Dua metafora ini menggambarkan kedalaman spiritualitas orang yang hidup berakar di hadirat Allah. Ia memang tidak kebal terhadap badai, tetapi akan tetap teguh karena sumber kehidupannya bukan dunia yang berubah-ubah, melainkan Allah yang setia. Sungguh sebuah kedewasaan iman, bukan? Kemampuan untuk memiliki ketenangan batin yang tumbuh dari keterikatan yang sehat dengan sumber makna yang melampaui diri.
Sahabat Alkitab, pada masa ini banyak orang berakar pada hal-hal yang rapuh, misalnya: pencapaian, pengakuan, dan kestabilan semu. Sehingga, ketika fondasi itu goyah, kegelisahan pun mudah tumbuh. Mazmur 92 menegaskan kembali bahwa ketenangan sejati lahir dari relasi yang benar dengan Allah. Di hadirat-Nya, kita menemukan akar yang kokoh, tempat di mana iman menjadi sumber daya hidup, bukan sekadar keyakinan abstrak. Orang yang demikian tidak hanya bertahan, tetapi ia juga akan “berbuah lebat”: menghadirkan kasih, keadilan, dan pengharapan bagi dunia di sekitarnya. Di tengah pusaran dunia yang cepat berubah, Mazmur ini mengingatkan kita, bahwa Sabat bukan sekadar hari istirahat, melainkan keadaan jiwa yang berdiam di dalam Allah, tempat di mana hidup menemukan maknanya kembali.

























