Berita tentang banjir dan longsor yang melanda berbagai wilayah di Sumatera dan sekitarnya dalam beberapa minggu ini menggoreskan luka mendalam. Ribuan orang mengungsi, rumah-rumah tersapu air, jembatan terputus, dan hutan yang dulu menjadi rumah satwa kini berubah menjadi lumpur dan batu yang bergulir menelan apa saja yang dilaluinya. Namun semakin jelas terlihat bahwa bencana ini tidak berdiri sendiri. Di baliknya ada jejak rakus manusia: deforestasi, penebangan pohon secara ilegal, serta praktik ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara masyarakat kecil menjadi korban. Ketika alam berteriak dan manusia menangis, kita menyadari betapa mudahnya keadilan ditukar dengan keuntungan, dan betapa rapuhnya hidup ketika kebenaran dipinggirkan.
Situasi demikian tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh pemazmur. Pada ayat 121-128, pemazmur berseru dari tengah penindasan. Orang-orang sombong dan berkuasa memeras yang lemah, merombak tatanan keadilan, dan merusak kesejahteraan sosial demi keuntungan diri. Seperti pemazmur, kita pun melihat bagaimana hukum Tuhan tentang keadilan dan kepedulian terhadap yang rapuh diselewengkan. Maka jeritan, “Inilah saatnya bagi TUHAN untuk bertindak” (ayat 126) bukan sekadar ungkapan putus asa, tetapi pengakuan bahwa manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Bahkan orang yang hidup dalam kejujuran dan cinta kepada firman Tuhan tetap membutuhkan didikan dan perlindungan-Nya.
Firman Tuhan adalah cahaya yang menuntun. Ia memberi pengertian kepada yang sederhana, bukan kepada mereka yang bersandar pada kekuasaan. Oleh karena itu, pemazmur digambarkan membuka mulutnya seperti orang lapar yang menantikan makanan, meski air matanya terus mengalir melihat orang-orang menolak hukum Tuhan. Ia tetap berpegang pada firman sebagai satu-satunya fondasi yang tidak pernah runtuh.
Sahabat Alkitab, iman adalah keberanian untuk bersandar kepada Tuhan, ketika semua penopang lain runtuh. Maka, ketika kita melihat saudara-saudara kita kehilangan tempat tinggal dan harapan karena keserakahan manusia, firman-Nya memanggil kita untuk tetap menyuarakan kebenaran, menjadi bagian untuk merawat ciptaan, dan menolak kompromi dengan ketidakadilan. Ingat, mengandalkan Tuhan bukanlah sikap pasif, tetapi keberanian untuk berdiri di sisi-Nya ketika dunia memilih jalan yang berbeda.
























