Peraturan mengenai hubungan suami-istri dalam kebudayaan Israel kuno dapat dikategorikan cukup revolusioner. Mereka memiliki panduan untuk mengelol hubungan yang tidak hanya berfokus pada situasi hubungan yang sedang memanas, melainkan juga merasuk hingga ke dalam aspek-aspek inti yang seringkali justru terlupakan. Pada ayat 11-16 ini pun digambarkan mengenai hubungan suami-istri yang sedang dipenuhi kecurigaan hingga memunculkan kecemburuan yang menggebu pada salah satu pihak yang merasa dikhianati. Tentu saja perselingkungan di tengah hubungan suami-istri dalam perspektif orang Israel kuno adalah sebuah kesalahan, tidak hanya di hadapan manusia melainkan juga di hadapan Tuhan. Hal ini sangat dapat kita yakini mengingat Tuhan sendiri pun sudah menegaskan perihal tersebut pada ayat 6 bahwa kesalahan seseorang terhadap seseorang yang lain adalah bentuk ketidaksetiaan kepada Tuhan. Artinya, perselingkuhan dalam hubungan suami-istri adalah kesalahan di hadapan Tuhan. Namun, Tuhan juga tidak menginginkan mereka saling asal tuduh dan justru membiarkan diri mereka hidup dalam kecurigaan serta kecemburuan.
Mereka perlu mengendalikan diri menghadapi rasa cemburu yang seringkali muncul tanpa alasan dan fakta yang jelas. Itulah mengapa, orang Israel dipandu untuk menyelesaikan perkara-perkara rumah tangga yang diliputi dengan kecemburuan dan kecurigaan bersama imam. Hal ini bertujuan agar kecemburuan itu dalam dikelola dengan cara yang lebih objektif hingga menemui kebenaran berlandaskan iman di hadapan Tuhan. Inilah bentuk pastoral pernikahan yang dapat kita temukan pada budaya hidup Israel kuno.
Kita perlu berhati-hati terhadap kecemburuan, entah dalam hubungan sebagai pasangan maupun dalam bentuk hubungan lainnya yang kita miliki dengan manusia-manusia lain. Ingatlah bahwa kecemburuan seringkali muncul di tengah ketidakjelasan alasan dan kenyataan yang tidak mampu kita pahami. Kemudian, kecemburuan juga menjadi faktor yang dapat dengan mudah mendorong seseorang melakukan banyak keputusan dan hal yang gegabah hingga mendatangkan petaka bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Jadi, marilah kita mulai mengevaluasi diri dengan merenungkan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah anda pernah merasa cemburu kepada orang lain? Kenapa anda perlu cemburu? Kemudian, apakah kecemburuan yang anda rasakan itu masih cukup masuk akal untuk anda pahami pada masa sekarang?