”Sunat” biasa dilakukan oleh banyak suku di Timur Dekat kuno, walaupun alasannya tidak jelas. Mungkin darah akibat sunat itu diyakini dapat memberikan perlindungan, seperti ketika Zipora menyunat anaknya untuk melindungi Musa dari kematian (Kel. 4: 24-26).
Dalam Alkitab, sunat pertama kali disebut berkaitan dengan janji Allah untuk membuat keturunan Abraham menjadi bangsa besar dan memberikan mereka tanah yang akan menjadi milik mereka sendiri. Sebagai respon, Abraham dan keturunannya harus menaati Allah. Untuk menunjukkan bahwa mereka menepati janji mereka kepada Allah, setiap keturunan Abraham harus disunat (Kej. 17:1-14). Bahkan para lelaki bukan Yahudi yang ingin menjadi bagian dari bangsa Israel juga harus disunat (Kej. 34: 21-24). Sunat menjadi suatu syarat dalam hukum Taurat (Im. 12:3). Perjanjian Baru melaporkan bahwa Yohanes Pembaptis dan Yesus disunat pada hari kedelapan setelah dilahirkan (Luk. 1: 59, 2:21).
Nabi Yeremia mengingatkan bahwa sunat lahiriah saja bukanlah tanda yang sejati untuk menjadi bagian dari umat Allah karena bangsa-bangsa lain juga melakukannya. Yang penting adalah menyembah Allah. Yeremia menyampaikan kecamannya terhadap bangsa Yehuda. “Aku menghukum orang-orang yang telah bersunat kulit khatannya:….segenap kaum Israel tidak bersunat hatinya” (Yer. 9:25-26). Selanjutnya, ia melukiskan suatu pembaruan perjanjian yang terakhir dan kekal dengan Allah, yang ditulis dalam ”batin dan hati” umat (Yer. 31:31-34). Penulis Surat Ibrani menggunakan nubuat Yeremia untuk mendukung beritanya bahwa perjanjian pertama yang berdasarkan hukum Taurat telah digantikan perjanjian baru yang dibawa oleh Kristus (Ibr. 8:1-13).
Praktik sunat menimbulkan perdebatan dan perpecahan di kalangan jemaat Kristen perdana. Sejumlah orang Kristen Yahudi yang hidup menurut hukum Taurat berpendapat bahwa mereka dan setiap pengikut Kristus yang bukan orang Yahudi harus menaati seluruh hukum Taurat dan melakukan semua kewajiban ritualnya, termasuk sunat (Kis. 11: 1-2, 21:17-24). Orang Yahudi lainnya, khususnya Rasul Paulus, menegaskan bahwa orang bukan Yahudi tidak harus disunat agar dapat ”dibenarkan”, yakni diterima oleh Allah. Paulus memang telah disunat dan pernah sangat taat pada hukum Taurat (Flm. 3:2-6). Namun, ia kemudian percaya bahwa kaum lelaki bukan Yahudi juga dapat diterima Allah dan menjadi bagian dari umat Allah yang sejati walaupun mereka tidak disunat. Bagi Paulus, sunat itu bermakna hanya jika seluruh hukum Taurat ditaati. Jika seseorang tidak menaati seluruh hukum Taurat, sunat tidak akan menjadikannya ”seorang Yahudi sejati”. Seperti Yeremia, ia percaya bahwa sunat sejati terjadi dalam hati (Rm. 2: 25-29). Manusia ”dibenarkan”, yakni dapat diterima Allah, bukan karena melakukan segala tuntutan hukum Taurat, tetapi karena ia memiliki iman (Rm. 3:28; Flp. 3:7-9).
Paulus juga mengkritik, mereka yang disebutnya sebagai ”para pengacau”, yaitu orang Yahudi yang menegaskan bahwa orang percaya yang bukan Yahudi harus melakukan ritus-ritus Yahudi, seperti sunat (Gal. 1:6-9, 6:12-14, Flp 3:2). Paulus mengatakan bahwa mereka keliru jika menganggap sunat sebagai cara untuk ”melengkapi” apa yang telah dimulai oleh Roh Kudus (Gal. 3:1-3). Secara singkat, Paulus mengatakan,”bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya” (Gal. 6:15).
Dikutip dari:
Alkitab Edisi Studi terbitan LAI